Untuk Sri
Engkau adalah dewi malam, sedangkan aku adalah penjahat perang, sedang menerima keadilan dari Dewi Yustisia, aku ditusuk timbangan kemalangan, terhunus runcing tombak sang dewi. Sadis. Hidup ini membosankan. Aku terhasut prasangka, pikiranku berkecamuk. Sekarang aku adalah ranting yang sedang dibakar—akan habis menjadi abu semata, sejenak kau pasti termangu, dengan berbalut selimut tanya, mengapa aku mengirimkan surat ini. Ada jalan membingungkan, dua jalur, dan aku tak tahu harus menempuh mana.
Pertama, perasaanku terhadapmu nyata adanya, begitu tulus. Sehari-hari, aku bergelut dengan diri sendiri, ingin melawan arus, menjumpai dirimu. Aku tergoda malam, dirayu kebingungan. Lantas, bilamana malam datang lagi, aku tak bisa tidur. Agaknya pikiranku mulai rusak, hatiku juga mulai menjamur. Perasaan ini sebelumnya amat anggun, terkesan menguasai diriku, bisa binasa dalam sekejap saat memikirkanmu. Entah apa itu, seperti rayuan magis, mungkin ajal akan menjemput. Entahlah, hanya saja aku tak tenang.
Kau tentu akan menyarankan untuk salat, tetapi seperti ada lubang besar di dadaku. Surat ini, sebagai pembuka awal tahun, aku hendak menyampaikan, kalau besok ada persidangan terkait pembunuh pamanku. Aku akan ikut bibi mengurus beberapa berkas, serta menunggu jadwal dari pengadilan. Pelaku itu ternyata rekan bisnis yang memang sudah mengakui kalau hendak menjebak paman. Dia kabur ke Kalimantan, sebagai buron ia tertangkap karena meninggalkan jejak berupa kredit-kredit yang ia tinggalkan pada sebuah perusahaan, terlacak di pelabuhan serta meninggalkan jejak di sebuah penginapan. Kalau kau tahu, mungkin ini akan melelahkan. Setidaknya biarkan aku menuntut keadilan dahulu. Surat ini dua, seperti dugaanmu. Kalau aku tidak bisa mengirim surat setiap waktu atau secepat yang kau mau. Sudah ada berapa surat yang kita kirimkan satu sama lain? Semenjak perkenalan di sekolah Surabaya? Oh, ada enam belas pucuk surat mungkin atau lebih banyak. Aku masih menyimpan, tetapi tidak menghitungnya. Tulisan tanganmu juga bagus, jadi aku suka.
Terkadang aku memikirkan kalau hidup ini hanya ilusi—aku curiga kalau ada rahasia lebih besar di alam raya ini. Namun, jika aku menjadi lebih paham, aku tahu akan menjadi kosong dan kesepian. Aku terbius rindu, tersayat-sayat belati durjana di pelupuk malam. Telentang sendiri di nampan retak menanti disantap kegelapan. Ini bukan apa-apa, maaf penuh metafora atau belitan makna, kau tak usah pikirkan. Ini hanya rasa resahku, curahan hati, kegundahan dalam jiwaku yang hendak menghadapi hari berat. Kusisipkan puisi acak, jangan kau pikirkan maknanya, aku hanya ingin menulis lebih banyak di surat kali ini. Semoga kau senang-senang membacanya tanpa menghakimi apa pun.
Kembang setangkai
Kembang setangkai tak pernah melarang
Sebab kita sepasang merpati terbang
Mengepakkan sayap beriringan
Kembang setangkai melambung ke awan
Menggebah pasukan Dasamuka
yang mencuri kelopak cinta
"Dewi Sinta memang genit, Kakanda."
"Oalah, aku baru tahu, Adinda."
"Sudah-sudah Alengka diraja bubrah"
Opera balada selesai, Rahwana kalah
Syair Percakapan Dalam Panci
Aku kisahkan pada malam
Dari dalam panci di altar batu pualam
Aku iblis purba hendak bersemayam
Dalam tafakur cinta Mariam
Kidung getir telah meramalkan
Kasih palsu berselimut keresahan
Lebih banyak duri deklamasian