Ketika itu, semua penumpang berjejal, mereka membawa tas besar, barang bawaan, anak-anak kecil, serta orang tua juga melangkah dengan penuh percaya diri. Adam berdiri tegap, segala sesuatu setelah persidangan membuat dirinya sibuk, berkas limpahan telah diterima jaksa putusan sudah keluar, meski berbulan-bulan menunggu, keadilan untuk sang paman, setidaknya ia memperjuangkan itu. Surat-menyurat dengan Sri jadi tidak begitu sering, terkendala berbagai kegiatan sekolah serta bentrok dengan keruwetan sidang.
Kini Adam menunggu kereta api Patas Merak, jurusan Tanah Abang-Merak, Adam masih duduk tenang di kursi tunggu Stasion Kebayoran. Bibinya sudah ada di rumah di Tanah Abang semenjak dua hari lalu. Sedangkan Adam menyelesaikan beberapa keperluan dan menginap di sebuah penginapan di daerah Kebayoran.
Segerombolan penumpang lain berjejal, membawa harapan, hendak pulang ke rumah, ingin menemui keluarga, ingin menuju tempat kerja, atau sekadar melepas penat dengan jalan-jalan, mereka berangkat dari Stasiun Sudimara, menaiki kereta lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota. Senin itu akan menjadi kelabu, meski awan-gemawan tidak terlalu menggumpal, langit cerah masih terlihat.
Adam di Kebayoran. Para penumpang di Stasiun Sudimara juga tak tahu kalau akan menabrak kereta yang ditumpangi Adam. Tak ada yang tahu, sebab penumpang tidak bisa meramalkan nasib mereka. Hingga kejadian nahas itu tak bisa dihindari, sebuah tragedi nan mengerikan. Gerbong itu saling bertabrakan, dua kereta beda jurusan, dengan penumpaang ratusan. Adam terdiam beberapa saat, ketika benturan itu terjadi, tubuhnya berguncang-guncang.
Seakan ada energi kuat mengerikan yang menyeret dirinya, Adam terlonjak dari kursi, ia berdiri menatap sekitarnya, keriuhan amat semrawut. Ia tak bisa membaca masa depan, sekali lagi, benar, manusia adalah makhluk tak berdaya bila sudah dihadapkan pada musibah maupun maut. Adam bingung, dadanya mulai berpacu, ia tak bisa membaca keadaan dengan akurat, karena kejadian itu terasa amat cepat, dia tak bisa membuka perspektif luas, seperti membaca buku—banyak yang tidak paham, membaca banyak buku tidak menjamin kita paham, ya, aku mengerti itu, Adam justru membatin. Kepalanya makin dilanda keriuhan akibat kepanikan penumpang lain. Kereta berderak-derak, gerbong berdetak, seakan dipompa oleh detak jantungnya.