Kau berlari, terus menjauh dari segala ketidakpastian. Mencari jalan baru, mengatasi kebosanan. Dalam diam, berbagai keramaian membekap kepalamu. Dunia memang susah ditebak, sudah banyak hal terlewat semenjak kau kabur dari kejadian kereta nahas itu. Menuntut belas kasihan pada sesama manusia hanya akan menambah masalah lain, kau tak mau itu. Kini bibimu tahu, kalau kau mengalami tekanan usai semua itu, dengan kejadian bertubi-tubi menimpa dirimu.
Kehilangan orang tua, kasus pamanmu, hingga kau mengalami kejadian brutal di kereta sialan itu. Sekarang, hanya ada sepucuk surat tergeletak di meja kamar, kau lupa, menulis surat itu untuk siapa, tetapi alamat dan namanya sudah tertera di sana. Sekarang, samar-samar kau kembali ingat, surat untuk Sri.
Kau menuju ke kantor pos, mengirimkan surat yang sudah teronggok beberapa minggu. Kau berdebat dengan pelayanan kantor pos karena kau kelihatan menyerobot antrean, setelah beres mengirim surat, kau kembali ke rumah, lantas duduk tenang, sendirian merenung. Bibi mengabarkan kalau akan segera menandatangani surat-surat rumah di Jakarta, bibi menerima sebidang tanah lagi. Sebab tanah atas nama kakekmu itu tidak jatuh ke tangan mendiang pamanmu, tetapi diserahkan untuk ayahmu.
Bibimu sangat senang, karena akan mendapat uang tambahan dari rumah di Jakarta, dan bisa segera kembali ke rumah di Surabaya, yaitu di tanah dan rumah milik kakekmu. Ada hal lain dalam pikiranmu, kau ingin membuat taman di sana. Segala keperluan terkait pindahan sudah disiapkan. Sesampai rumah di Surabaya, kau memutuskan untuk santai dan menikmati momen zaman dahulu. Kelulusan sekolah akan berlalu, tahun 1987 kau kelas tiga SMK, dan menjadi tahun terakhirmu menikmati masa-masa sekolah, menduduki bangku kelas, jajan di kantin. Kini kau hanya ingin tenang.