Selama beberapa waktu dia termenung, tidak tahu hendak mengatakan apa pada Adam. Sri menatap lembut, di taman itu, ingatannya masih terus lancang mengambil alih semua kisah masa lalunya, memutarnya kembali bagaikan film di kepala Sri. Langit belum gelap, mungkin empat puluh menit lagi akan terdengar azan magrib berkumandang. Sri mencoba menyampaikan lagi surat balasan yang ia kirim pada Adam.
“Kurasa aku membalas suratmu dengan bertanya, mengapa kau menulis surat berisi puisi dan cerpen. Aku juga berkisah dalam surat itu kalau hidupku sedang kacau saat itu, mungkin masih banyak orang lebih parah dariku, masalahnya berat dibandingkan aku. Namun, aku hanya ingin merengek saja padamu saat itu. Tatkala hidup tidak sesuai dengan perkiraanmu, lebih baik menulis saja, kan? Semenjak itu, berkirim surat, menulis cerita pendek, ataupun puisi, menjadi kegemaranku. Selain membaca buku-buku, kau mengajarkan padaku arti penting sebuah tulisan. Sebuah pesan bisa lebih tersampaikan melalui tulisan, sebab tulisan berbicara jujur, tulus, meski berupa kebohongan—tetapi itu adalah kebohongan terindah bagi umat manusia. Aku senang dibohongi, meski lewat tulisan. Adam, ketika berkirim surat masih berlangsung, sampai pada saat kau tidak mengirimkan surat lagi, karena sebelum kau berangkat menaiki kereta, kau menulis di suratmu kalau sudah akan menyelesaikan sidang perkara terkait pembunuhan pamanmu. Aku sedikit lega. Namun, aku jadi kaget bukan main, kau menaiki kereta yang mengalami tragedi nahas itu. Kupikir kau selamat, atau kau mati, entahlah, saat itu keraguan begitu menyelimuti diriku.
“Aku bahkan menghubungi beberapa orang, melalui bantuan ayahku, juga kenalan ayah yang di Jakarta, aku mencari-cari informasi tentang dirimu. Karena itu, kurasa... ah, jarak lima bulan setelah tragedi, aku mendapat kabar kalau alamat tempat dirimu mengirimkan surat, sudah dijual kau tidak ada lagi di sana. Aku tak tahu kau ada di mana. Yang kuingat hanya surat-surat tentang taman bunga yang kau bahas. Kemudian aku pernah mengirimkan surat berisi kesukaanku terhadap prangko semenjak melakukan surat-menyurat melalui kantor pos. Kubahas di surat itu, kalau aku sampai harus mencari buku-buku tentang sejarah prangko, dunia filateli, serta kolektor-kolektor prangko. Aku senang mengelokesi prangko-prangko edisi langka itu. Bahkan sampai sekarang, buku filateli itu masih ada di rumah, di samping bundel surat-suratmu saat aku membuka laci lemari. Kau telah mewarnai masa-masa remajaku menjadi begitu indah. Andaikan aku bisa mengulangi waktu itu—tetapi, ah, tentu saja, semua sudah berbeda. Mungkin sekolahan kita tetap ada, tetapi suasana serta bangunan sudah berubah, atau taman belakang sekolah, juga sekarang sudah menjadi kompleks perumahan. Mungkin kita bisa kembali ke masa lalu, tetapi kenangan itu sudah berbeda. Aku merasa amat sakit, betapa waktu berlalu begitu cepat. Meski terkadang terasa lama, seperti saat aku terpisah darimu dan tak menerima kabar. Namun, waktu juga terasa amat cepat, saat ini misal, perbincangan kita—meski hanya aku yang bicara, waktu seakan melaju amat cepat, menyeretku untuk segera pulang.