Aku tak tahu kalau akan mengalami keajaiban hari ini. Betapa senang hatiku, ini adalah mukijizat nyata dari Tuhan. Kalaupun Adam bisa pulih lagi, tentu akan menjadi kabar menggembirakan bagi bibinya juga. Tidak ada lagi hari muram untuk ke depannya—itu yang terbetik dalam pikiran. Kabar ini amat serasi dengan keadaan hati kusam milikku, berandai-andai hanya membuat kepala pusing. Namun, agaknya, ini suatu kerelaan nyata—bahwa Adam memanggil namaku, begitu indah suaranya meski serak.
Tidak dinyana, ia menunjukkan aura magis itu kembali di hadapanku. Siapa saja boleh menganggap kejadian ini ekses rancu di alam semesta. Namun, aku menyaksikan sendiri keajaiban dari pikiran rusak; Adam memanggil namaku dengan lembut. Mataku nyalang untuk beberapa detik. Ini kisah nirpribadi, jelas ini kisah kami. Redup-terang, lantas gelap lagi, hitam bagai jelaga, bak asap pabrik dari cerobong asap. Hatiku meninggikan sosok pria di depanku, semua yang sudah terjadi memberi banyak pelajaran. Adam masih muda, bukan orang gaek bau tanah, ia hanya lupa ingatan.
Ada nilai artistik dalam surat-suratnya, tulisan tangannya, membuatku bersemangat membacakan setiap kata di depannya. Meski hatiku hancur ketika membaca surat dari masa silam itu. Sebab aku terkungkung dalam kubangan berair keruh itu, seperti menanam batu di tanah, berharap akan tumbuh tunas pohon apel. Lucu sekali, aku menatap ke angkasa luas sejenak sembari menarik napas.
“Adam! Adam!” suaraku tak tertahankan.