Seperti kereta melintas dengan suara klakson memekakkan telinga, bagai lampu sorot kereta api yang amat terang benderang. Sri seperti terbekap dalam keadaan linglung, limbung, setelah berjejal-jejal dengan derita melaju di atas kereta api dengan kecepatan tinggi. Suara besi rel yang tergilas roda besi kereta, suara angin setelah gerbong melintas. Sri seperti menunggu peluit ditiup di peron ketika kereta hendak berangkat.
Berangkat? Ke mana? Keretanya telah tiba. Dia tidak akan menunggu kereta lagi, di pemberhentian mana pun, ia tak akan menjumpai kereta lagi. Jadi, ia tak perlu mencemaskan penampilannya, atau tentang aroma baju, bagaimana rambutnya. Dia tidak peduli lagi akan hal itu. Sri masih mencari-cari makna tentang kehidupannya, dia duduk di kamar sendirian. Mencoba memberi penghiburan untuk diri sendiri. Ingatan Sri masih perihal masa sekolahnya dahulu bersama kenangan yang telah lalu. Ia duduk dan menatap ke arah rak bukunya, di sana terpajang beberapa novel dan majalah, Sri mengambil majalah dan ingatannya seakan dipaksa untuk mengenang kenangan indah itu, karena ada majalah tahun 2000an yang ia miliki. Yaitu majalah Femina tahun 2000 edisi 4 Oktober dengan tajuk sampul Mari Bicara Cinta! Dan ada majalah Gadis bertajuk Back to School edisi Juli-Agustus tahun 2000, yang membuatnya makin larut dalam kenangan masa SMEA. Cinta dan masa remaja, memang sungguh hal indah—sulit dilupakan.
Sudah tanggal 9 Oktober 2000, Sri masih belum bisa melupakan kenangan semasa sekolah dahulu. Memang benar masa-masa itu teramat indah. Banyak sekali kegilaan, hal lucu, serta berbagai pengalaman. SMEA hanya tiga tahun, tetapi kenangannya seumur hidup di dalam kepala Sri. Namun, bagaimana dengan Adam, kenangan itu tercabik, seperti kertas foto yang rusak—gambar menjadi tidak jelas lagi, luntur, tinta mengering atau lengket, kertas menguning, terlipat—sehingga foto menjadi rusak.
Cetak lagi? Mencetak foto seperti mencetak ingatan lagi. Namun, tidak bisa dilakukan begitu saja. Tak ada yang bisa dilakukan terhadap kenangan—sebab ia sudah ada jauh di masa silam. Kini, Sri bersiap bekerja seperti biasa. Ia tidak lagi peduli tentang dirinya sendiri, bahkan lupa memeriksakan kesehatan lagi. Sebab saking semangat, ia seakan punya suntikan tenaga melimpah, ia sehat dan bersemangat.
Seiring kata singkat yang disemburkan oleh Adam, tentang menyebut nama Sri, Taman, hanya sebatas itu, telah membuat Sri senang bukan main. Ini prestasi gemilang, tentu saja. Sri sudah amat gelisah, ia bertekad untuk segera bertemu Adam lagi. Adam sudah bisa bicara sedikit saat ingatannya kembali. Memang belum bisa memutuskan saat itu juga apakah Adam akan makin mengalami kemajuan perihal ingatannya. Tak ada jawaban pasti akan hal itu. Sri tak mampu menyanggah lagi perasaannya, ia bergegas ke taman pagi-pagi untuk membawa Adam ke sana juga. Membacakan surat atau mengajaknya bicara, sudah biasa Sri lakukan.
Sri makin semangat—waktu terus berlalu, ia ke pasar, mengurusi toko mainan, kembali ke pekerjaan, mengajak berbincang meski tak ada kemajuan besar. Namun, kini makin terlihat, menuju akhir tahun, menuju pengakhiran tahun 2000, Adam berujar cukup banyak. Ia bisa bicara—nyambung, ia bicara pada Sri. Perasaan bahagia membuncah, meruap-ruap memenuhi dada Sri.
Kepeduliannya serta kasih sayang membuahkan hasil.
“Setelah kereta meledak-ledak, berguling, terbakar, mayat di mana-mana. Aku tak ingat lagi seperti apa selanjutnya. Sebab aku sudah berada di klinik, sebuah klinik tak jauh dari lokasi kecelakaan kereta. Aku tak membawa barang banyak.”
“Adam! Kau ingat! Jangan paksa bicara banyak.”
“Jangan paksa?” Adam bingung, ia tak tahu dirinya lagi, tetapi ia mengucapkan ingatannya.