“Sri! Kenapa buru-buru?”
“Ada perlu mendadak. Semua sudah selesai, aku akan pulang segera. Tidak ada lembur, kan? Tiket konser God Bless juga sudah kuberikan padamu.”
“Ya. Terima kasih. Baiklah, selesaikan urusanmu.” Ratna melambaikan tangan.
Suasana kantor koran itu sudah amat lengang. Hari mulai beranjak turun, matahari hendak menutup diri. Dari balik kabut sore serta udara lembap, Sri memacu mobilnya dengan amat cepat. Dia ingin buru-buru menyelesaikan urusannya, tetapi, Damar sudah tidak mau menunggu lebih lama.
“Akhirnya kau datang juga, Sri!” seru Damar.
“Ya. Maaf membuatmu menunggu. Sekarang kau bisa membantuku menyelesaikan pencarian ini.”
Lantas, tak perlu waktu lama, mereka memacu mobil ke arah kediaman Adam dan sang bibi. Adam menunggu dengan tenang, dan ketika Damar masuk bersama Sri, tampak pandangan kedua pria itu saling bertemu dengan datar. Damar melemparkan senyum pada Adam.
“Hai! Aku Damar!” ujarnya.
“Adam.” Sahut Adam.
“Sri! Bibi senang sekali, berkat kamu Adam bisa bicara sedikit-sedikit. Meski semalam ia melamun, tidak tahu ingin minta apa. Namun, pagi hari ia memanggil saya. Saya harap Adam bisa seperti ini dan makin membaik.”
“Saya yakin ada keajaiban, meski itu hanya 1% saja, kan? Selamanya saya menaruh keyakinan dan harapan itu. Adam akan sembuh, saya yakin.”
Damar menyimak obrolan antar Sri dan Bi Ngatiyem. Kini mereka setelah minum teh, langsung menyiapkan alat berupa cangkul untuk menggali di taman belakang. Benar seperti kata Adam, taman itu masih terawat. Ada kesegaran tatkala menginjakkan kaki untuk kali pertama di tanah itu. Meski tidak terlalu luas, tetapi sangat asri, sejuk, harum. Ada keran, kursi taman, serta selang air. Seperti memasuki taman surga, mirip taman bunga di negeri dongeng. Taman sekecil itu memiliki aura kuat, bagai magnet yang menarik siapa saja untuk singgah dan berlama-lama di taman tersebut.
Sri berjalan mendekat ke arah deretan bunga kertas, ada beberapa pohon mawar sedang berbunga juga, betapa indah bermekaran. Dengung serangga beberapa kali terdengar melintas di dekat telinga serta atas kepala Sri. Mereka berempat tampak antusias. Adam masih terdiam di kursi roda, ia menatap ke arah Sri dengan lembut.
“Di sana—dekat pohon mangga itu, di bawah bekas pohon krisan. Aku meletakkan kapsul waktu di sana—menguburnya beberapa meter di dalam tanah. Beberapa hari setelah dari Jakarta, aku langsung membuat kapsul waktu tersebut. Taman ini jadi tidak lama, hanya sebulan untuk persiapan dan menghiasnya, beberapa bebatuan aku dapatkan dari sungai dekat sini.”
“Adam! Ini adalah taman impian, indah, aku tak menyangka akan melihat taman bunga seperti ini di belakang rumah. kau benar-benar memiliki minat pada taman ini.”