Tahun-tahun telah berlalu, tahun 1990, era musik, industri pakaian, serta berbagai kecanggihan terus menghiasi jagat dunia. Konser musik, Sepultura juga manggung di Surabaya pada 1992 silam, ada juga Metallica yang menggelar konser di Jakarta pada 1993. Kehidupan terus berlanjut. Sri ingat, segalanya tak bisa berhenti tanpa ada sebab jelas. Waktu memang begitu adanya, tajam, kuat, seperti memiliki racun di ujungnya membawa para manusia ke padang masa depan. 1995, 1996, sampai saat ia mempunyai komputer baru. Hingga kini sudah tahun 2000 menjelang akhir.
Sri tak pernah bisa memberi kepastian pada ibunya, kalau seandainya, bahwa saat ini kekasih pun ia tak punya. Lagi pula, Sri menganggap kekasihnya masih bertahan—yaitu Adam. Dia tak pernah mencari cinta lain, atau mengharap pernikahan megah dengan lelaki kaya mana pun. Dia ingin melihat Adam, atau hidup bersamanya.
Ternyata kenangan kuat itu begitu mengikat. Tak ada keraguan dalam dirinya. Dengan sigap dia memantapkan hati untuk tetap di sana; bukan meringkuk di masa lalu, meski ia melakukannya, tidak ada jaminan kalau kebahagiaan akan datang secepat kilat. Dia tidak terpenjara di masa lalu, tetapi gemar mengenang kisahnya yang telah lalu sampai akhirnya dia benar-benar terpenjara dalam diri di masa silam itu. Muda, ceria, berwawasan, penuh rasa ingin tahu, dan bergelora penuh rasa kokoh.
Sepulang dari tempat Bi Ngatiyem, Sri langsung ingin istirahat. Dia tak bisa berlama-lama membiarkan pikirannya terus berisik. Namun, seperti diledakkan oleh bom, jantungnya terangkat kuat, menggedor brutal membabi buta. Sri kunang-kunang, lantas kepalanya berputar-putar seperti baru turun dari roller coaster. Sri ambruk berdebum di halaman depan rumahnya. Damar membalikkan badan dan langsung melangkah ke arah Sri. Sri sudah tak sadarkan diri di tanah, ia pingsan.