“Aku tak menyangka kau bisa bicara banyak hari ini.”
“Senang mendengar itu darimu. Semua berkat dirimu. Maaf merepotkan selama ini. Entah kondisi ini akan bertahan lama atau tidak, jika nanti aku sudah benar-benar lupa semuanya, maafkan semua tingkahku, ya. Waktu ternyata sudah berjalan sangat jauh.” Adam menatap ke depan halaman rumah.
“Tidak ada hal lebih menyenangkan selain bisa bicara denganmu lagi. Banyak hal membuatku tersentak tatkala mengetahui dirimu dalam keadaan memilukan—salah satunya. Kau orang termanis yang pernah kukenal, sikapmu, serta banyak hal telah kita lalui bersama. Meski kebanyakan lewat tulisan surat-menyurat. Bahkan aku sampai mengoleksi prangko banyak-banyak semua sebab dirimu. Surat kita banyak, puluhan, ada tiga puluh enam pucuk surat kurasa. Oh, kau mungkin akan selalu ingat, saat aku mencoba mengelak dan tak mau mengenalmu. Namun, aku tetap ingin membalas surat pertama darimu yang kau titipkan pada Intan dan ia meletakkan di laci mejaku saat SMEA.”
“Hari ini kau bicara banyak juga, ya. Aku tidak tahu bagaimana perjuanganmu mendongengi diriku, membacakan surat lama kita, dan kau membawaku ke taman. Kata Bi Ngatiyem begitu.”
“Benar. Aku sudah baik-baik saja. Selama ada dirimu, aku tak apa. Sekarang, aku masih penasaran dengan kapsul waktu yang kau tanam. Kira-kira di mana kapsul waktu itu? Aku sudah sempat menggali taman yang kau kisahkan, tempat di mana kotak itu kau kubur, tetapi tidak ketemu.”
“Soal itu. Maaf, aku ternyata samar-samar. Sebenarnya kotak waktu itu aku pendam dekat bawah pohon mangga, dan aku letakkan batu cadas di atasnya.”
“Batu? Jadi, batu besar itu. Baiklah. Aku bisa menggalinya sekarang.”
“Jangan gali langsung. Aku ingin mengobrol denganmu. Di taman buatanku. Maukah kau menemaniku?” Adam bertanya dengan tulus.
“Ya. Aku mau. Tentu saja.”