Aku memang bergetar karena Adam tiba-tiba membahas taman, memberi petunjuk perihal kapsul waktu, di bawah pohon bunga krisan. Kami lantas menuju taman di rumah Surabaya, tempat di mana Adam mengubur kapsul waktu. Dan saat itu tidak ketemu, kapsul waktu itu entah ada di sisi mana. Aku hanya mendapat informasi kalau Adam sudah punya firasat tak enak terkait masa depan dan ingatannya. Maka dari itu dia menanam kapsul waktu. Mungkin seperti di dalam film-film, perihal alzheimer. Atau mungkin jika kisahku dengan Adam diangkat jadi film akan jadi kisah menyedihkan. Oh, jadi teringat filmnya Kate Winslet dan Leonardo berjudul Titanic.
Aku langsung mengajak Adam ke taman di rumahnya itu. Meski penggalian kapsul waktu itu tertunda karena tidak langsung ditemukan. Sesaat setelah tiba di taman itu. Betapa kaget diriku, sang bibinya mengantar ke belakang dan sampai taman yang dibuat Adam. Aku melihat sebuah taman cukup indah meski ada susunan pot atau rumput liar agak tinggi karena belum dibenahi. Di sana dijelaskan oleh bibi, jika ia ingin merawat Adam saja dan tinggal di rumah itu. Hati baik sang bibi tak kuat bila Adam tak ada yang mengurus. Ia sangat bahagia ketika melihat Adam bisa bicara beberapa kata dan berbicara perihal taman. Di taman aku dibantu Damar kala itu, mencari pohon bunga krisan, lantas menggali tanah di bawah pohon itu dekat pohon mangga. Namun, Adam lupa, bukan di sana tepatnya, entah di bagian mana.
Kini aku sudah tahu, ada di bawah batu. Namun, aku dan Adam sepakat, membiarkan untuk tidak langsung menggalinya. Aku menikmati rasa penasaranku, dengan bercengkerama lebih lama dengan Adam di taman itu. Kami berbincang banyak hal.
Aku seperti telentang di atas altar berapi, terus telentang menanti pengadilan. Namun aku tak akan gentar, sebab aku tahu diriku keras kepala. Terlebih hidup ini sudah begitu banyak memberi tekanan. Hanya gertakan, atau cibiran, semua itu tak akan membuatku mundur. Adam sudah di depanku, dengan ingatannya yang kembali. Memang, tak banyak harapan tersaji, tetapi kami selalu memiliki harapan. Pengharapan berbalut doa-doa. Aku ingat Bi Ngatiyem hanya tinggal tidak sampai dua hari saat ia pertama kali membawa Adam ke rumah sakit. Sebab dia sudah langsung memutuskan untuk terus merawat Adam di rumah sambil jalan.
Semua tak lepas dari penyakit itu sendiri, sebab dokter tak mampu memberi kepastian, bahkan tak ada obat untuk alzheimer. Kami berbicara, saling pandang, tidak sekali pun perempuan paruh baya itu mengulangi ucapannya. Bibi terus berkisah banyak hal secara runut padaku. Sela-sela waktu, aku mencari celah untuk mengingat bagian penting. Tak peduli apakah akan berguna, tetapi aku mengingat lebih baik. Bagaimana bibi merawat Adam, cara-cara ia bisa sesabar itu, serta berbagai kebiasaan bila Adam kumat atau mengamuk.