Jauh di lubuk hati Bi Ngatiyem, ia berharap bisa menyisihkan sebagian harta yang ia pegang untuk kelanjutan hidup dirinya dan Adam. Namun, benturan demi benturan bertubi-tubi membuat pengeluaran membengkak. Uang, tak akan ada habisnya bila terus diharapkan, manusia jadi tak puas. Bi Ngatiyem paham akan hal itu, setelah memikirkan matang-matang, kalau uang bisa membawa prahara, dia memutuskan untuk lebih bijak dalam pengelolaan. Deposito serta tabungan darurat ia kelola dengan serius. Dana tahunan mungkin tidak terlalu besar bila ia bijak dalam pengelolaan.
Dengan tulus ia mengutarakan pada Adam, meski Adam tidak merespons kala itu. “Kasihan dirimu, Dam. Amat kasihan.” Terkadang ia membatin. Bi Ngatiyem mencoba lebih tabah setiap saat melihat raut memelas di wajah Adam.
Untuk mengembalikan reputasi, posisi bermartabat, tanpa cela pun, Bi Ngatiyem tidak mau. Ia lurus, menjalani saja. Walau cibiran terus bergulir sampai telinganya. Terkait masa lalunya yang tak mau menikah, sebagai perawan tua, perawan lapuk, tak punya belahan jiwa. Namun, bibi tak memedulikan semua itu. Kebahagiaanya sudah besar, banyak, rasa syukur terus ia tambah—ia senang bisa merawat Adam sepenuh hati.
Tidak diragukan, bahwasanya bibi ingin Adam bisa pulih seperti sedia kala. Ia menikah, memiliki anak, lantas hidup bahagia, setidaknya Adam harus begitu. Itulah yang selalu terbayang oleh Ngatiyem. Sebagai wanita, ia memiliki rasa belas kasih besar, perasa, makhluk lembut penuh welas asih. Ternyata, lika-liku hidup memang membuat beberapa orang tak gentar, tetapi ada sebagian dari mereka menyerah.
Pemandangan hari ini begitu indah, semua tampak segar, baru, berselimut kehangatan. Ia menyaksikan Adam dan Sri berbincang di taman. Bibi mengintip dari dalam ruang makan, karena ada jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Suara gemeresik angin, anak ayam, serta cicitan burung. Ia melihat pohon serta tangkai-tangkai bunga di taman bergoyang karena embusan angin. Begitu menenangkan, pagi hari menjelang siang. Sebuah kedamaian telah tercipta di taman itu.
“Berbahagialah, kalian!” ujar Bibi. Ia tersenyum lebar mengamati Sri dan Adam yang masih fokus.
Segala kekhawatiran tentang kesehatan Adam seakan sirna dari benak bibi. Tak pelak, ia sampai lupa kalau sedang merebus air untuk membuat teh. Air sudah masak, kini ia bergegas melanjutkan menyeduh teh hijau kegemarannya. Aroma teh itu langsung merambat menembus lubang hidung. Ngatiyem memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam lantas mengembuskan dengan perlahan melalui mulut. Suasana khas di rumahnya, setiap kali ia selesai mencuci baju atau memasak, ia akan menyesap teh sambil menikmati udara. Ia juga kerap berjemur di taman itu, meski ada bagian yang rindang, tetapi sisi taman dekat ban mobil bekas, kerap terpapar sinar mentari. Maka ia akan berjemur di sana selama lima belas menit atau sampai tehnya habis. Ada meja plastik kecil yang ia bawa untuk meletakkan cangkir teh, lantas ia akan duduk di ban bekas yang sudah didesain menjadi pot keras. Tepian ban itu keras, posisi juga cukup tinggi, jadi pas dengan meja kecil.
Cara menikmati hidup dengan mereguk teh. Setidaknya itu selalu digumamkan bibi. Ketika ia masih fokus melamun, mendadak Sri beranjak dan menuju ke arah dapur. Bibi bisa melihat dari balik jendela, Sri berjalan agak cepat.
“Bi! Bisa bantu saya sekarang? Saya hendak menggali tanah tempat Adam mengubur kapsul waktu.”