Kapsul waktu telah terbuka, memuntahkan semua isinya. Sri menatap semua yang ada di dalamnya. Kertas dilapisi plastik. Kotak besi itu sudah tidak tergembok, sebelumnya dipecahkan gembok itu dengan alu besar oleh bibi. Gembok berkarat itu terbuka. Lantas, setelah terbuka, Sri buru-buru mengerluarkan semua. Ada surat, tulisan tangan Adam.
Sri mengambilnya, merapikan jadi satu tumpuk. Ada dua lembar kertas, satu gantungan kunci berbentuk kucing. Sisanya hanya remahan kelopak bunga sudah kering nyaris jadi debu. Mungkin saja itu kelopak bunga krisan, tetapi sudah nyaris lebur. Kotak masih kuat, rapat, dan mampu menahan semua isinya agar tidak rusak. Kertas usang menguning itu masih utuh beserta tulisan tangan Adam. Sri membuka lipatan kertas itu perlahan, ada garis bekas lipatan, tulisan masih baik tintanya tidak luntur. Kini, Adam tetap terdiam di kursi roda bersiap mendengar Sri membacakan catatan yang terpendam dalam kapsul waktu.
Catatan 1
Menimbang hati dan jantung, ini adalah kisah semalam untuk kekasihku yang sedang kesepian menungguku. Ini hanya sanggahan, berupa ketidakbecusan diri karena keraguan. Lantas, kita tak akan menemukan akhirnya dari kisah ini. Semalaman suntuk aku termenung, hanya untuk menuliskan kisah ini. Mungkin sebagian larik dari surat ini sudah sampai padamu.
Seiring berjalannya waktu, ingatanku akan kabur, bisa saja aku mengalami demensia, amnesia, atau apa pun itu. Kepikunan dini mungkin, tetapi dengan surat ini, aku harap kau bisa selalu mengingatku, begitu juga surat darimu, kuharap selalu menjadi pengingat bila jarak dan waktu menjadi pemisah.
Kurasa banyak yang akan kulupakan, aku mulai menyadari saat menginjak usia dua puluh tahun, ingatanku mulai kabur, dan entah ingatan jangka pendekku bermasalah atau jangka panjang juga rusak, maka aku menuliskan dalam kertas ini dan segera menyelesaikan taman ini, tepat pada usia dua puluh satu tahun, aku mengubur catatan ini di taman. Ada hal yang belum bisa kuwujudkan. Dan aku ingin mencatat sebelum lupa, aku jatuh cinta pada wanita itu, ia bernama Sri Anggraeni, dan kuharap bisa berjumpa lagi.
Aku sudah menyampaikan penggalan surat itu, tetapi bagian lengkapnya ada di sini. Aku mengaku di hadapan alam, malam, di altar batu persembahan, apa pun yang hendak menimpaku, aku sudah siap. Aku jatuh hati pada seseorang wanita, dia gadis di sekolah lain saat aku remaja. Kami tak menyangka, kalau akan mengalami hal seperti ini. Ada hati bahagia, ada jantung berdegub kencang tatkala aku menatapnya.
Catatan 2
Kata ayahku, bunga krisan melambangkan kesedihan. Kalimat itu pernah diucapkan olehnya. Aku menjadikannya sebagai patokan serta rujukan tentang pembuatan taman. Jika perlambangan dari bunga-bunga mampu memberi banyak makna dalam hidup, maka aku akan membuat taman yang bisa mengobati kesedihan dengan kabahagiaan. Jika krisan bersedih, ia akan bahagia bertemu anyelir. Atau jika suatu saat melati menangis, ia bisa meminjam kelopak mawar untuk menyeka air matanya. Mungkin juga jika kelak bunga krisanku layu tak jadi hiasan-hiasan lagi dalam surat, aku masih bisa menggunakan kelopak kembang sepatu. Atau bunga kemboja sekaligus. Sungguh, perlambangan kelembutan sifat-sifat bunga ada dalam kehidupan ini. Menuntun diriku, untuk selalu mengingat dirimu, Sri.
Rohku bilang aku kuat, kembang merah tak bernama meliuk lembut tatkala aku menyatakan itu. Dia meminta agar aku tak menangis. Kumbang terbang di dekatnya, mendikte diriku agar punya sayap—sayangnya aku tak bersayap. Ragu dalam dada berbisik untuk tabah dan menyudahi kesedihan, bahkan ragaku amat lelah dilambungkan ombak ganas memelesatkan diriku dalam lautan mengerikan. Rohku bilang aku kuat, memberi petuah bahwa aku adalah pakaian kokoh, roh tak mau bersedih, tetapi aku marah, seakan ada sesuatu dicuri dariku, dari kepalaku. Aku hilang, tersesat di taman penuh kembang, kumbang, berbalut ragu, dan raga lelah. Terjebak dalam labirin sel-sel kelabu di kepalaku yang meruap-ruap mendidih.