Waktu berlalu amat cepat. Aku tak tahu kalau ternyata masih bisa bertemu dengan Sri. Aku sudah menulis di kertas itu, lantas menguburnya di dalam kapsul waktu. Kutatap wajah Sri yang anggun, ia tetap cantik, meski usia kami sudah bukan usia remaja. Sri bertambah anggun, ia membaca tulisan di kapsul waktu itu. Dalam beberapa detik aku lupa berkedip, terlena dengan suaranya.
Ia masih melanjutkan membaca, kemudian berhenti. Sri bangkit menatapku, ia mendekat berdiri tepat di depanku. Ada kerinduan membuncah di dada kami masing-masing.
“Kau senang dengan tulisan itu?” tanyaku.
“Ya. Aku suka. Kau memberi pencerahan dari semua pertanyaanku selama ini. Ternyata kau sudah mempunyai firasat terkait musibah yang akan menimpa dirimu, tentang penyakitmu. Kau sudah jujur dalam tulisanmu beberapa tahun lalu. Benar, waktu ganas, kita tak bisa menghentikannya. Kau menulis semua ingatanmu di sana, seakan memberikannya untukku di masa depan, kau menuliskan dengan ketulusan dan kejujuran. Aku juga mencintaimu, Adam. Selama ini aku selalu memikirkanmu, bahkan menolak lamaran dari pria lain. Hanya dengan harapan kau masih hidup dan kembali lagi menjumpaiku.”
“Sama denganmu. Aku menantikan untuk bisa mengingatmu. Meski sudah banyak kenangan hilang, berlalu begitu saja, aku tak ingat banyak hal. Sekarang sudah mau 2001 saja, ternyata aku sudah berada jauh di masa depan dengan kehilangan besar.” Aku menoleh sejenak ke arah bibi, “Bi! Terima kasih sudah merawatku selama ini. Maaf merepotkanmu.”
“Bibi senang, karena bisa merawatmu. Bibi senang, akhirnya kau bisa ingat beberapa hal dan bicara normal.”
“Namun, aku masih pusing. Jika aku kembali seperti sebelumnya—hilang ingatan lagi, tolong maafkan aku.” Ujarku.
“Tidak! Kau tak boleh lupa, itu menyakitkan.” Timpal Sri.
“Tak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini selain kehilangan cintamu, Sri. Bagiku sudah cukup, aku merasa aman dan damai menyerahkan semuanya pada pemilik hidup. Aku percaya padamu, maaf jika aku kumat lagi. Tenagaku seakan habis, tersedot lubang waktu yang membekukan ingatan.”
“Hentikan. Tenang dahulu, setidaknya kau dan aku ada di sini. Taman ini akan selalu membantumu, mengingatkanmu padaku juga pada bunga-bungaan di sini. Tentang bagaimana kesedihanmu, serta waktu kosong yang telah terlompat darimu, Adam.” Sri menaruh semua simpatinya pada kalimatnya.
“Terima kasih sudah menunggu.”
“Terima kasih sudah kembali,” Sri menatap lekat-lekat ke arahku.