Menulis Ulang Ingatan

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #42

Epilog

“Terima kasih sudah menunggu.”

“Terima kasih sudah kembali,” Sri menatap lekat-lekat.

Ketika di taman, sesaat setelah membuka kapsul waktu dan perbincangan dengan Adam. Mendadak sontak, seperti digebuk amat keras, kepala Sri pengar hebat. Tengkuknya berat, napasnya jadi berat. Ia berdiri mendekati Adam yang duduk di kursi roda. Tanpa aba-aba, Sri limbung, tubuhnya ambruk di pelukan Adam. Hidung Sri berdarah, ia tersengal beberapa kali, di sudut mulutnya keluar darah mengalir di pipi kiri mengenai bajunya.

“Sri? Kau kenapa? Sri!” Adam kebingungan.

Bi Ngatiyem langsung mendekat, membenarkan posisi tubuh Sri untuk telentang dan kepalanya tidur di lengan kiri Adam. Sri megap-megap, napasnya memburu tak karuan. Matanya membuka menutup, hingga kelihatan putih semua, ia batuk keras, seperti orang muntah, seperti kambing digorok. Tubuhnya makin lemas, wajahnya membiru.

“Sri! Jangan membuatku panik!” Adam teriak lantang.

Angin di taman berubah makin dingin, awan mendung kian lebat berarak di atas mereka. Hawa di taman bertambah muram, kelam, gerimis mulai turun. Desember kelabu itu menghantui, memberi teror brutal bagi Adam.

Adam dan Sri seperti diperhatikan oleh energi misterius, seperti ada mata tak terlihat yang memandangi. Perlahan pandangan itu meninggi, sejengkal di atas kepala Adam, lantas satu meter melayang, makin tinggi, setinggi pohon mangga di taman itu, lantas mengambang di awang-awang menjauh. Terlihat Adam dan Sri, Sri dalam pangkuan Adam.

Pemandangan itu makin membubung, melayang-layang menjauhi muka bumi. Menuju langit, menembus mega-mega, ke nirwana. Meninggalkan Adam yang meraung-raung di taman, menangis keras, membenamkan wajah dalam kesedihan. Dihantam kesadisan takdir. Ia memeluk kekasihnya itu, dalam dekapan penuh luka batin dan rasa sakit. Bibinya sampai tak bisa berkata-kata karena panik dan ikut menangis.

“Tidak! Kau tak boleh lupa, itu menyakitkan.”

Adam masih terngiang ucapan Sri tadi. Tentang jangan lupa. “Tak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini selain kehilangan cintamu.” Ternyata lebih baik lupa, bila harus mengingat tentang kematian. Mungkin itu yang dipikirkan Adam sekarang. Kehilangan orang terkasih, membuatnya begitu tersiksa. Kau tak boleh lupa, maksudmu aku harus mengingat kenangan menyedihkan dan menyakitkan tentang hari ini? Adam kembali ribut dengan dirinya. Lebih baik aku tak bisa ingat apa-apa lagi, sebab bila aku ingat, hanya ada kesedihan. Adam membuat keinginan sendiri di benaknya—keinginan pahit.

***

Ingatan sebelumnya, dalam kepala Sri. Rumah sakit telah ramai seperti biasa. Lima hari setelah tahun baru 2000. Saat itu Sri berada di Rumah Sakit Tambakrejo.

“Ini serius, Dok? Anemia aplas ... aplastik?”

“Benar. Itu hasil dari kami. Memang diagnosis masih perlu dikaji lebih mendalam. Anda kekurangan darah, hal ini karena sumsum tulang hipo-seluler bermasalah, ditambah adanya pansitopenia darah tepi.”

“Maksudnya?” Sri mengerutkan kening.

Lihat selengkapnya