Menunggu Bapak Ramadhan Ini

Kifa Ansu
Chapter #3

Suara Laut

Langkah kaki Ajeng mengendap-endap. Ia pulang terlalu sore, bunyi mengaji di masjid sudah santer sejak pukul 17.30. Gadis itu pulang dengan baju basah kuyup. Kelamaan main di lebung, sebuah kolam air yang terbentuk secara alami maupun buatan. 

Rudi dan Aisyah sudah mengajaknya pulang sejak awal, tapi Ajeng keasyikan main air sampai lupa waktu. Kedua temannya itu memilih pulang duluan. Meski memiliki rumah dekat laut yang airnya melimpah, main di lembung terasa berbeda. Air laut amis baunya dan menyakitkan kulit. Air lembung lebih segar, meski warnanya keruh dan sedikit bau lendut.

"Ngapai kamu? Gak usah ngumpet-ngumpet. Ibu udah mencium bau amismu. Mandi sana. Bentar lagi Magrib." 

Lastri masih sibuk menyiapkan takjil ketika putrinya bersembunyi di balik gentong air. Ajeng cengengesan sambil menutup tempat mandi dengan tirai. Untung saja ibunya tidak marah. Padahal bisa jadi ia memperoleh garis-garis merah akibat gagang sapu. Mungkin, Lastri sedang senang. Ia tak perlu menghukum Ajeng yang pulang terlambat.

Sebenarnya dalam hati, Ajeng justru merasa sedih. Harusnya Agus, bapak Ajeng, yang mencarinya tatkala suara pujian kepada Sang Pencipta sudah mengalun sepanjang itu. Namun, itu tidak terjadi hari ini. Terakhir kali, Agus memarahi Ajeng dua tahun lalu, sebelum kepergian laki-laki itu. 

Bahkan bisa jadi Ajeng sudah lupa. Hanya Lastri yang masih ingat. Bagaimana Agus selalu membela Ajeng jika anak itu melakukan kesalahan. Detik ini, ia bahkan tak tahu harus memarahi atau menangis karena melihat putrinya.

Suara Azan mengalun lembut dari banyak penjuru. Ada yang masih baru mulai ada yang sudah sampai kalimat tengah. Perbedaan waktu azan berkumandang di berbagai tempat tak lantas membuat umat Islam bingung. Di mana ia pertama kali mendengar azan itulah saatnya berpuasa. Tak perlu berdebat. Allah menciptakan waktu yang berbeda, maka waktu berbuka pun berbeda. Keindahan Islam ada pada persatuan di atas ajaran tauhid. Meski fikih berbeda, tapi Tuhan yang dituju itu satu.

"Ibu ... mau marah ya? Kan udah buka puasa. Gak batal kalau marah-marah."

Lastri malah menggenangkan air di kedua matanya. Tak sanggup melihat wajah polos putrinya. Sampai kapan ia bisa menikmati tatapan itu. Terselip harapan dan cita-cita yang tak mungkin ia patahkan. Memendam sendiri luka ternyata tak mudah. 

Berbagi dengan gadis kecil berhati kristal juga bukan pilihan. Bagaimana jika kristal itu pecah? Adakah kesempatan baginya terus menggenggam hati gadis kecil bermata abu-abu itu. Bahkan untuk memandangnya saja, Laras butuh keberanian besar. Cinta seorang ibu kadang aneh. 

"Gak kok. Ajeng senang main di lebung? Tempat itu menyenangkan, tapi menyimpan bahaya. Jangan ke sana lagi ya?"

"Yah .... Padahal besok mau ngajak Ari. Anak yang tinggal di perumahan pegawai kapal juga. Tetangga Rudi."

Lihat selengkapnya