Siang itu panas terik. Matahari tampak bahagia berbagi sinarnya tanpa dihalangi awan. Orang-orang mengeluh karena kulitnya terasa terbakar. Angin yang bertiup tidak bisa mendatangkan kesejukan. Justru hawa panas yang makin tersebar. Udara menjadi pengap karena bercampur zat-zat beracun yang berasal dari kendaraan dan pabrik.
Ajeng sudah terbiasa dengan cuaca tak bersahabat. Juga terbiasa dengan lingkungan yang kotor. Hanya laut yang membuatnya tersenyum. Sekarang pun gadis itu sedang menyapa sahabatnya, laut biru yang luas.
"Ini Jeng, es Tuntung. Gak ada yang pakai roti." Rudi memberikan es Tuntung dengan cup warna merah muda. Es ini kesukaan Ajeng. Apalagi saat cahaya matahari begini. Menikmati es Tuntung di pinggir laut lebih menyenangkan dari pada jalan-jalan ke mall. Itu kata Chico saat baru pertama kali makan es Tuntung. Ajeng belum pernah ke mall. Gadis itu cuma melihatnya di TV Bu RT.
"Kamu gak takut ketahuan Ibumu Jeng? Dosa tahu... Pura-pura puasa." Aisyah yang tiba-tiba muncul di belakang membuat Rudi tersentak. Lain hal dengan Ajeng yang tampak santai dengan es Tuntung di tangannya. Jilbab putih lusuh gadis itu berkobar-kobar karena tiupan angin.
"Ibu gak sempet ngecek aku puasa apa gak. Abis keliling jual sayur, pasti tidur. Terus bangun udah jam 3. Masak deh. Ibu aja gak tahu aku dapat nilai 5." Rentetan kata Ajeng membuat Aisyah menggelengkan kepala. Gadis berseragam merah putih itu seperti bukan dirinya. Ke mana Ajeng temannya yang patuh dan rajin itu?
"Kamu kenapa sih Jeng? Kok jadi bandel." Rudi juga merasakan hal yang sama. Gadis kecil bermata abu-abu itu memang terlihat aneh hari ini.
Ucapannya tadi membuat Rudi heran. Tak pernah sekalipun Ajeng begitu. Mengabaikan kewajiban berpuasa kan dosa. Rudi saja yang tidak mengaji di masjid tahu. Masalahnya, ia malah membantu Ajeng membeli es Tuntung tadi. Membantu orang melalaikan ibadah dosa juga. Rudi menggaruk-garuk kepalanya.
"Cerewet ah. Aku mau pulang dulu. Siapa tahu Bapakku telpon."
Tanpa memedulikan temannya, Ajeng melangkah ke rumah. Ia bosan dengan dermaga. Ia marah pada laut. Ia ingin memaki angin. Bagaimana bisa mereka tidak tahu di mana bapak Ajeng. Padahal, mereka juga melihat bapaknya pergi saat Ajeng bahkan masih sekolah TK. Saat anak lain diantar jemput ayahnya, Ajeng harus kembali ke rumah jalan kaki dengan sepatu kebesaran. Ia menangis sepanjang jalan.
Lastri ibunya juga tidak banyak bercerita tentang pekerjaan Bapaknya di luar negeri. Lagi pula, kenapa bapaknya harus pergi jauh hanya untuk uang. Bahkan, di sini ada banyak pekerjaan. Ajeng sering melihat orang-orang bekerja membersihkan pelabuhan, ada juga yang berjualan di kapal Fery, atau orang yang membantu penumpang membawa barang mereka. Asal tidak jadi preman tukang palak saja tidak apa-apa kan?
Gadis itu selalu bangga pada ibunya yang penjual sayur keliling. Tidak berlemah hati dengan kakeknya yang petani. Tidak masalah. Ia sudah biasa menjadi bagian dari warga ekonomi bawah. Tak pernah minder meski teman-temannya anak terpandang para pegawai kapal. Bapaknya Rudi nakhoda, abinya Aisyah juga pemilik pabrik ikan asin, apalagi Chico yang ayahnya orang Inggris. Semua itu tidak membuat Ajeng rendah diri. Ia hanya ingin bapaknya ada saat ia ingin menunjukkan nilai 100 atau menangis saat mendapati nilai 50.
Suara kapal mendarat mengagetkan Ajeng. Bunyinya keras seperti terompet. Gadis itu menoleh seketika. Matanya sudah basah. Ia sesenggukan.