Bel masuk berteriak-teriak seantero sekolah Negeri Bakauheni. Anak-anak memasuki kelas masing-masing. Ada yang berlari, berjalan, jalan sembari berlompat, jalan dengan menutup mata, dan berbagai perilaku khas mereka.
Pelajaran pertama hari ini Matematika, mata pelajaran yang tidak disukai Ajeng. Karena angka-angka itu, Ajeng jadi tahu berapa lama bapaknya pergi. Sekarang usianya sembilan tahun lebih, tapi belum pernah berjumpa secara nyata dengan pria idamannya itu. Apa hanya ia yang rindu.
Gurunya, Pak Widodo, mulai menulis di papan tulis hitam menggunakan kapur. Gerakan tangannya luwes meski baru dua tahun jadi guru di sekolah ini. Rambut Pak Wid, sapaan akrab anak-anak didiknya, tampak rapi meski tidak menggunakan minyak.
Dulu waktu Ajeng masih berumur empat tahun, bapaknya rajin membubuhkan minyak urang-aring ke kepalanya. Rambutnya sampai lengket. Itu kata ibunya, Ajeng tidak ingat. Wajah bapaknya saja sudah samar di kepalanya. Kalau bapaknya tidak juga muncul, bisa-bisa Ajeng lupa sungguhan.
"Ajeng ... Ajeng ..." panggil Aisyah. Gadis bermata bulat itu melempar pensil ke arah Ajeng. Namun, gadis itu bergeming. Matanya menatap papan tulis, tapi sepertinya pikirannya tidak menetap di sana.
"Kenapa Aisyah?" tanya Pak Agus yang mendengar suara Aisyah. Meski setengah berbisik, tapi kelas yang tenang membuat nadanya terdengar tinggi.
Aisyah menggeleng. Wajahnya berubah datar. Ia yang terkenal pandai dan patuh jelas tak ingin mengubah anggapan itu. Pak Agus Widodo kembali menjelaskan materi satuan waktu. Namun, kasak-kusuk kembali terdengar di kelas itu.
"Ada apa?" kembali Pak Agus bertanya.
"I ... ituu minum Ajeng tumpah," jawab Aisyah sambil menunjuk meja Ajeng yang sudah basah, bukunya juga. Sementara Ajeng masih menatap kosong papan tulis.
Pak Widodo mendekati Ajeng dan memperbaiki letak botol minum. Anehnya, pandangan Ajeng berubah arah mengikuti gerak-gerik gurunya itu. Mulai dari mendekatinya hingga kembali lagi ke posisi duduk. Bahkan mata abu-abu itu tak berkedip memperhatikan setiap perubahan ekspresi gurunya. Wajah senyum Pak Widodo membuat hati Ajeng menghangat. Seperti ada selimut yang menutupinya. Gadis itu jadi ikut tersenyum.
***
Di sebuah ruangan berukuran 5x6 meter, seorang ibu duduk pada sebuah kursi. Di depannya ada meja yang terbuat dari kayu dan dicat warna merah. Ada tulisa 'Pak Widodo' dengan ukuran huruf besar dan 'Wali Kelas 4'. Pak Widodo yang dimaksud baru muncul sepuluh menit kemudian. Pria itu tersenyum memberi salam dan menanyakan kabar perempuan yang menunggunya. Ibu itu menjawab salam sembari tersenyum.
"Saya Lastri, ibunya Ajeng. Ada apa ya Pak Guru?" tanya Lastri dengan alis mengerut dan tatapan penuh tanya. Tak biasanya perempuan itu dipanggil wali kelas begini. Meski belum pernah juara satu, Ajeng tak pernah berulah. Anak itu belajar baik-baik seorang diri di rumah. Lastri terlalu sibuk menjual sayur dan sesekali membuat kerajinan sulam. Ajeng memang tidak punya seseorang yang mengajarinya. Namun, prestasi sekolah tak pernah mengecewakan. Apakah Ajeng berkelahi?