"Saya mengerti dan paham, Pak. Tapi mohon kasih saya waktu dan kesempatan!" dua alisnya makin berkerut dan keningnya makin berkerinyit tanda menahan emosinya Roky makin merasa sebal menjawab sambungan telpon.
"Maaf, Pak Roky. Saya sudah terlalu banyak memberikan kesempatan pada perusahaan Bapak," terdengar dari cerobong kecil ponsel bila seseorang yang jauh disana merasa tidak akan lagi memberikan kesempatan pada Roky.
"Hahhhh!" sontak sambung telpon di putuskan begitu saja ketika jempol jari tangannya menekan icont gagang telpon warna pada layar ponsel.
Raut wajahnya makin menahan emosi, padahal baru saja akan berangkat kekantor. Tapi sudah dihubungi pihak bank menagih janjinya Roky.
Dasi biru tua sempat di rapihkan dengan kedua tangan, raut wajahnya masih kelihatan berselimut marah kelihatan pada cermin meja rias berbentuk oval.
"Kamu tidak sarapan pagi dulu, Yah?" lirikan mata sinis melirik pada Saras, seorang istri penyabar tapi sayang sampai detik ini rahimnya belum pernah merasakan hamil.
"Pasti bank itu lagi?" tersenyum sumringah dengan dua tangan Saras bersentuhan halus merapihkan dasi biru dan setelan jas warna crem terang yang di pakainya Roky sebentar lagi akan berangkat kekantor.
"Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya," sudah dirasa rapi tidak ada lekukan lecek lagi pada setelan jas dan dasi.
Tangan kanan Saras mengambil tas kerja, lalu di berikan pada Roky tetap saja raut wajahnya masih belum mau tersenyum.
"Kalau saja Ibumu mau membantuku. Tentu aku tidak akan di kejar-kejar bank!" hanya tersenyum Saras tahu hampir setiap hari bila ada bank yang menghubungi Roky, pasti selalu hanya itu alasan yang selalu didengar Saras.
Daster biru tua bermotif kembang aneka warna dipakai Saras, wajahnya tetap cantik dan hanya tersenyum menghadapi sikap emosi tidak sabarannya Roky, suaminya yang seebenarnya selalu memaksakan dirinya agar merayu Suwanti, Ibunya agar segera menjual perkebunan tebu. Sebenarnya perkebunan tebu itu milik Fajar, almarhum suaminya.
"Tapi, Yah? Bunda ngak bisa merayu Ibu untuk menjual perkebunan tebu itu. Karena hanya perkebunan tebu satu-satunya peninggalan Ayah. Dan hanya perkebunan tebu itu yang bisa membuat hidup Ibu jadi tambah semangat buat melupa'kan kenangan manisnya setelah ditinggal Ayah," mungkin Saras juga capek dan bosan, karena hampir tiap hari selalu meminta dirinya harus merayu Suwanti agar menjual perkebunan tebu
"Tapi Bun?" padahal matahari sudah masuk lewat celah tirai jendela yang terbuka lebar, tetap saja Roky masih terus merajuk pada Saras.
Lirikan senyum mata Saras mengajak sentuhan sinar matahari menatap wajahnya, dua tangannya sambil mendekap sprei ranjang yang akan segera di cucinya.