Menunggu Purnama

Zadia Mardha
Chapter #1

Bab 1

Petir Purnama

“Ini kartu nama Papa Sinar, yah?”

“Bukan. Itu angkel, Angkel Ti,”

Alisyah mengangguk mengerti, “Ibu telponin supaya jemput kamu, yah?”

Sinar mengangguk. Alisyah berdiri menjauhi Sinar, muridnya di Taman Kanak-Kanak tempat ia mengajar. Sambil menunggu panggilannya diterima, Alisyah mengawasi Sinar dari kejauhan. Sinar tampak menikmati duduknya di ayunan taman bermain. Memperhatikan sepatunya.

Di dering ke tujuh, panggilannya diangkat, “Assalamualaikum, halo. Dengan Bapak Petir Purnama, wali dari Sinar Purnama? …. Saya guru di TK Pelita. Maaf, mengganggu, ini sudah hampir satu jam sejak jam pulangnya Sinar, tapi belum ada yang menjemput Sinar…. Baik, terimakasih,”

Alisyah bernapas lega. Begitu panggilan ditutup, ia berjalan menghampiri Sinar.

“Katanya, uncle bakal jemput. Sinar tunggu sebentar lagi gapapa?”

Sinar mengangguk. Rambutnya yang dikuncir dua menari lucu mengikuti gerak kepalanya.

“Mau Bu Guru dorongin, ayunannya?”

Tidak seperti anak seumurannya yang akan setuju, Sinar justru menolaknya.

Hampir genap dua bulan Sinar Purnama sekolah di TK tempat Alisyah mengajar selama 6 bulan belakangan. Dari dua belas murid di kelasnya, Sinar adalah yang paling pendiam.

Awalnya, Alisyah pikir kalau Sinar belum terbiasa dengan lingkungan barunya. Apalagi dia murid pindahan, jadi mungkin agak sulit memulai pertemanan. Tapi di tiga minggu pertama, Sinar belum juga bergabung dengan murid lainnya.

Murid-muridnya yang lain juga tampaknya enggan bermain dengan Sinar.

Mungkin ada faktor lain,

Alisyah duduk di ayunan di samping Sinar dan menggoyangkannya sedikit.

“Tadi Ibu liat hasil gambar kamu, loh. Bagus banget,”

Sinar mengangkat kepalanya, melirik Alisyah.

“Ibu ngga nyangka Sinar jago ngegambar, yah,”

Sinar mengangguk. Dari tempatnya, Alisyah dapat melihat bibir anak itu tertarik ke atas. Meski sedikit.

“Sinar pengen jadi pelukis, yah?”

Lagi, Sinar mengangguk.

“Waktu Ibu Guru masih kecil, Ibu juga pengen jadi pelukis, loh,” Alisyah tersenyum pada Sinar yang tampak fokus padanya.

“Dulu Ibu Guru punya kucing. Lucuuu banget. Namanya Mondi. Ibu pengen main sama Mondi setiap hari. Tapi ibu harus sekolah, dan ngga dibolehin bawa Mondi. Jadi ibu ngegambar Mondi di buku gambar. Gara-gara itu, Ibu pengen jadi pelukis. Kalo kangen sama Mondi tinggal gambar, deh,”

Senyum Sinar melebar. Alisyah mengacak puncak kepala Sinar, gemas, saat melihat senyum anak itu yang menampakkan gigi gingsulnya.

“Kalo Sinar, kenapa pengen jadi pelukis?”

Sinar tersenyum semakin lebar. Dan dapat dipastikan mata anak berusia empat tahun ini ikut tersenyum juga.

“Sinar pengen kayak mama. Jadi pelukis,”

“Wah…Mama Sinar pelukis, yah?”

Sinar mengangguk bersemangat. Kuncir rambutnya lagi-lagi menari dengan lucu ke depan dan belakang.

“Mama bisa ngegambar semuanya,”

“Oh, ya? Semuanya?”

“Hm. Mama bisa gambar Papa, Angkel Ti, Aunti Hana, Angkel Ki. Semuanya!”

“Wah, Ibu Guru jadi pengen digambar juga, sama Mama Sinar,”

Alisyah megerutkan alisnya sedikit. Sesaat tadi, ia menangkap ekspresi sedih di mimik wajah Sinar. Benar-benar sesaat sampai ia meragukan penglihatannya sendiri.

Lihat selengkapnya