Namaku Andini Safitri, panggil saja Andini. Saat ini aku tinggal dan menetap di Jakarta. Profesiku sekarang adalah seorang psikiater. Tapi banyak orang yang bilang aku adalah seorang aktivis kemanusiaan. Boleh juga tapi aku lebih senang jika dianggap sebagai seorang penulis saja. Hampir semua buku-buku karanganku merupakan hasil studi tentang manusia seperti menyoal tentang perbedaan kelas atau strata sosial, prostitusi, tingkatan perkembangan, tragedi kemanusiaan dan perang. Pun berbagai krisis dalam kehidupan manusia dewasa dan tentang orang-orang yang sukses mengatasi krisis itu. Aku hanya ingin menyampaikan berita perdamaian kepada seluruh dunia. Aku ingin menyebarkan cinta untuk kemanusiaan.
Setahun yang lalu aku memang telah jatuh hati pada Budiman, seorang aktivis mahasiswa teknik mesin Universitas Indonesia. Bagaimana ceritanya tiba-tiba aku mengenalnya? Aku sendiri pun juga tidak tahu dan tidak pernah sekalipun terpikirkan olehku. Semua tidak terencana dan mengalir begitu saja.
Benar, pertemuan kami, aku dan Budiman sungguh-sungguh tidak disengaja. Saat itu, bertepatan seminggu setelah tragedi Semanggi berdarah Mei 1998 yang telah merenggut beberapa nyawa mahasiswa Universitas Trisakti, ketika aku barusaja menyelesaikan suatu perjalanan yang cukup melelahkan, aku duduk di teras rumahku yang terletak di Menteng. Kulihat sebuah surat kabar harian Jakarta Post tergeletak di atas meja kerjaku. Ya, bisa untuk menemaniku menikmati coffee break.
Pada awalnya aku nggak berpikir untuk meraih koran itu, karena aku sedang tidak ingin membaca. Pikiranku sudah banyak tersita untuk acara tadi siang. Kini saatnya rehat sejenak, pikirku. Namun pikiranku berubah begitu saja saat secara tidak sengaja sepasang mataku menangkap topik pada headline koran itu. Segera kuraih surat kabar itu, setelah sedikit kubaca, aku baru tahu isi dari tulisan itu. Tulisan tentang ditemukannya beberapa aktivis mahasiswa yang hilang dalam kerusuhan Mei 1998. Memang beberapa aktivis mahasiswa dinyatakan hilang saat demo besar-besaran mahasiswa di jembatan Semanggi tanpa ada yang mengetahui. Aku lebih suka menyebutnya penculikan entah orang lain menyebutkan apa. Intimidasi dan penangkapan beberapa aktivis mahasiswa yang dilakukan oleh oknum tertentu telah menebarkan teror dan trauma menakutkan yang berkepanjangan. Aku lebih suka menyebutnya orang-orang gila.
“Berita macam apa ini?” pikirku.
“Kasihan mereka!” kataku menahan emosi.
Saat itu pikiranku dipaksa untuk mengingat kembali demo mahasiswa yang menuntut reformasi seminggu lalu yang memang diluar dugaan, ribuan mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia berkumpul jadi satu memenuhi setiap sudut ibukota Jakarta hingga berakhir rusuh dan berdarah.