Pada tanah nan luas membentang itu, yang di atasnya berdiri beberapa bangunan megah dengan taman di sekelilingnya. Tasya, yang saat itu diselimuti kegundahan tak hentinya melangkah tanpa arah dan tujuan. Pandangannya tertuju pada panah yang tertulis “Fakultas Teknik” di atasnya.
Sejenak dia menghela nafas panjang, membiarkan kakinya berjalan melewati panah itu. Dencit suara sepatu yang memantul di atas jalan aspal mulai memecah keheningan, membuat matahari penasaran, lalu mengintip di sela rindangnya pohon yang berjajar di sepanjang jalan kampus Salemba yang dia lewati.
Terlihat kompleks gedung teknik tampak begitu sepi. Semakin terasa sepi ketika Tasya menyadari saat beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Mesin sudah mulai tak terlihat, hanya beberapa orang yang masih bertahan di balik kesunyian Jum'at sore.
Masih tampak bayangan Budiman keluar masuk gedung E4. Sejuta kenangan indah bersamanya pergi bersama hilangnya sang aktivis mahasiswa tersebut. Aksi demo mahasiswa di jembatan Semanggi sudah seminggu berlalu, namun masih menyisakan duka di hati mahasiswi cantik tersebut. Budiman masih belum ditemukan, meski semua pihak yang dibantu Komnas HAM terus melakukan pencarian.
Tasya baru menyadari bahwa hari semakin senja, seraya melihat jam yang melingkar di tangannya. Hingga nada SMS di ponselnya berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia tertunduk membaca SMS itu, seiring langkahnya yang terhenti dalam kesunyian, membuat jantungnya berdetak semakin kencang tak beraturan.
Beberapa saat aku terdiam dalam lamunan, namun kembali berjalan melewati beberapa gedung hingga tiba di sebuah taman yang di atasnya berdiri jajaran huruf yang jika dibaca akan terlihat kata Universitas Indonesia. Jajaran huruf-huruf itu dibuat dari plat logam kilap dengan polesan berwarna perak dengan media tulisan terbuat dari semen. Sejenak Tasya mencoba menikmati pemandangan, menahan untuk tidak melirik jam tangan berwarna merah muda yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
“Hmm … andai saja Budiman tidak ikut dalam aksi demo itu ... mungkin dia kini ada bersamaku ...,” gumamnya dalam hati.
Tasya teringat saat dirinya bersama seluruh panitia OSPEK mengadakan kegiatan kemahasiswaan di pantai Ancol. Saat itulah banyak waktu yang dihabiskannya bersama Budiman.
”Hati-hati Tasya, kamu tidak apa-apa?!” teriak Budiman saat melihat Tasya tersandung batu yang tidak terlalu besar, untung tangannya begitu cekatan menarik tangan Tasya sehingga tubuhnya tertahan untuk terjatuh. Akhirnya mereka tertawa bersama.
Menyusuri pesisir pantai Ancol yang berpasir lembut, dengan hembusan angin laut yang semilir sambil merentangkan kedua tangannya merupakan suatu hal yang tak akan terlupakan.
Dan dengan tiba-tiba, Budiman mendahului berjalan di depan Tasya dan menyuruhnya merentangkan tangannya dan dengan kamera ponselnya ala seorang fotografer profesional, dia seolah sedang mengambil foto dirinya, berkali-kali sambil mengarahkan pose-pose yang alami. Angin yang berhembus di sepanjang pantai menyebabkan sebagian rambut Tasya menutupi wajahnya.
“Tasya, tolong jangan kamu rapikan. Biarkan rambutmu ditata oleh angin!” teriak Budiman.
Kemudian dia kembali memicingkan matanya menfokuskan lensa kameranya ke wajah Tasya.
“Haha ... haha ... aku seperti foto model saja. Sudah, jadi malu ...,” seloroh Tasya.