Menunggumu di 1998

M. T. Cahyani
Chapter #1

Bab 1. Gadis Krismoningsih

Mata jelita itu menatap ke arah jalan raya. Mata penuh harap yang sudah puluhan ribu kali melakukan hal ini. Entah sudah berapa puluh purnama berlalu. Gadis tetap setia menunggu di gerbang panti asuhan itu. Di kala senggang sepulang bekerja sebagai asisten rumah tangga, dia menyempatkan diri menunggu di gerbang coklat yang catnya sudah lusuh dan terkelupas itu. 

Di ujung senja sore ini. Helaan napas penuh rasa kecewa muncul lagi dari hidung mancung Gadis. Dia menatap ke langit yang mulai dipenuhi titik-titik putih bercahaya redup.

"Andai krisis moneter itu tak terjadi mungkinkah saat ini aku bisa bersama orang tuaku?" ucap Gadis sambil membayangkan sebuah kebahagiaan yang disebut keluarga. "Aku terpaksa tinggal di sini karena krisis itu. Krisis yang membuat orang tuaku tak mampu untuk menghidupiku. Sebenarnya mereka masih hidup tidak sih? Atau jangan-jangan sudah mati!" 

"Nak, ayo masuk. Di luar dingin lho," panggil seseorang wanita paruh baya. Wanita itu bernama Bunda Asih. Ibu pengurus panti asuhan tempat Gadis tinggal. Rambut wanita itu sudah mulai penuh uban tanda tak muda lagi. Tangan dan kakinya mulai nampak keriput. Separuh abad lebih usianya dia habiskan untuk mengurus para malaikat kecil tak berdosa yang dibuang orang tuanya. 

"Eh, Bunda," sahut Gadis sambil menoleh. Bunda Asih menghampiri Gadis. Tangannya membelai lembut kepala Gadis seolah dia masih anak kecil. "Masuk yuk, di luar dingin." Gadis hanya menggangguk. 

"Bunda, apakah Krisis Moneter dulu sangat parah?" tanya Gadis. 

"Kenapa kamu bertanya hal itu?" Bunda Asih heran. 

"Aku terus memikirkan hal itu selama ini. Apalagi itu adalah bagian dari namaku yang Bunda berikan. Namaku Gadis Krismoningsih. Krismon singkatan dari Krisis Moneter kan, Bunda? Aku sudah besar dan cukup dewasa. Sejak kecil banyak orang tua yang ingin mengadopsiku tetapi selalu Bunda tolak karena aku berstatus anak titipan akibat Krisis Ekonomi 1998."

"Itu krisis yang cukup parah. Banyak perusahaan bangkrut. Harga barang-barang kebutuhan menjadi mahal."

"Apa mungkin dulu orang tuaku terkena Pemutusan Hubungan Kerja sehingga tak mampu membiayaiku yang masih bayi?" tanya Gadis sambil menatap Bunda Asih. 

"Orang tuamu pasti sayang padamu, Nak. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya," jawab Bunda Asih lembut.

"Usiaku sudah 23 menuju 24 tahun. Tak sekalipun mereka mengunjungiku. Krisis itu sungguh membuat luka apalagi bagi rakyat kecil seperti diriku. Aku seolah dibuang orang tuaku. Jika mereka tak menginginkanku kenapa mereka tak membunuhku saja dulu!" keluh Gadis.

"Hush! Jangan bicara asal, Nak. Kamu harusnya lebih bersyukur masih diberi hidup hingga sekarang. Lihat dirimu, anak perempuan yang cantik dan tangguh. Kau sudah lulus SMK, lalu bekerja halal untuk biaya kuliahmu meski sistem pembelajaran jarak jauh tapi itu hebat. Kau ingat pandemi Corona Virus tahun 2020 lalu? Kau masih selamat bahkan sudah divaksin booster keempat. Lebih banyaklah untuk sabar, Nak," nasehat Bunda Asih. 

"Krisis Moneter tahun 1998 yang penuh luka. Aku dan orang tuaku hanya rakyat kecil. Jika krisis itu tak terjadi mungkin orang tuaku masih bersamaku sekarang. Aku tak minta hidup mewah, sederhana saja sudah cukup," Gadis tak kuasa menahan air matanya. Bunda Asih memeluknya. Tangan keriputnya membelai lembut rambut hitam ikal milik Gadis. Gadis menumpahkan seluruh keluhannya. 

"Sudah tenang?" tanya Bunda Asih lembut. Dia menghapus sisa air mata Gadis. "Kamu tumben jadi lebih emosional, Nak. Sudah masuk masa PMS (Pra Menstruasi Sindrom) kah?"

Lihat selengkapnya