Menunggumu di 1998

M. T. Cahyani
Chapter #2

Bab 2. Ibu Kota

Hari yang ditentukan tiba. Gadis pergi ke ibu kota. Sebuah koper prelove warna hitam yang rodanya agak rusak beserta sebuah tas punggung menemani perjalanan gadis. Sebuah mobil mini bus sudah terparkir di depan panti. Gadis menghela napas, hatinya sebenarnya tak kuat untuk pergi meninggalkan panti yang sudah dianggapnya rumah sejati dan keluarga. Gadis menatap ke arah adik-adik panti yang setia menemaninya menunggu kendaraan travel minibus yang dipesankan oleh yayasan kenalan Bunda Asih. Matahari nampak ingin kembali kr

"Doa Bunda, Ayah dan semua adik-adik selalu menyertaimu, Nak," Bunda Asih mendekat ke arah Gadis.

"Bunda ..." Gadis tak kuasa menahan air matanya. Dia berlari memeluk Bunda Asih. Orang yang sudah dianggapnya ibu sendiri.

"Anakku Tersayang, jangan menangis. Doa kami selalu menyertaimu. Jangan khawatir, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Kau bisa pulang kapan pun kau mau, Nak." Bunda Asih memeluk Gadis.

Terdengar suara klakson dari jalan raya depan panti asuhan itu. Sebuah mobil mini bus berwarna abu-abu sudah terparkir di sana. Mobil travel yang akan mengantarkan Gadis menuju ibu kota.

"Kabari ya Nak,jika sudah sampai. Bagiku Ayah kamu tetap anak yang masih kecil. Hati-hati di jalan," Pak Agus memeluk Gadis.

"Kak Gadis, hati-hati ya," ucap adik-adik panti hampir serentak. Mereka memeluk dan mencium tangan Gadis. 

Gadis menarik koper hitam itu. Seorang pria yang nampaknya kernet mini bus itu membantu membantu Gadis memasukkan koper ke dalam bagasi. Gadis melambaikan tangan saat memasuki mobil itu. Di dalam mobil itu sudah hampir terisi penuh. Ada lima orang wanita yang sudah jadi penumpang. Gadis adalah penumpang terakhir. Para wanita itu melihat ke arah Gadis. Gadis duduk di bagian belakang mobil itu. 

Ada seorang perempuan muda yang sedang tertidur. Perempuan itu berkulit sawo matang. Rambut perempuan itu terkuncir dua. Baju warna hijau muda cetar dan mencolok membuat alis gadis sedikit terangkat. Gadis berusaha menahan komentar negatif yang hendak dia keluarkan.

"Sudahlah, lebih baik cari teman daripada cari musuh. Dari semua penumpang, dia yang keliatannya agak sebaya denganku. Lainnya keliatan sudah emak-emak semua." Gadis duduk sambil meletakkan tas gendongnya di bagian bawah kursi. Dia menatap ke arah jendela. Langit malan mulai menampakkan bintang gemintang yang memesona. 

"Jam berapa ini? Eh, ada penumpang lagi. Kamu mau kerja apa? Model kah? Cantik banget lho, kamu tuh. Putih mulus kayak berbi. Perkenalkan namaku Legiyem." Legiyem mengulurkan tangannya.

"Hah? Siapa namamu? I ... yem?" tanya Gadis ragu. 

"Legiyem. L-E-G-I-Y-EM. Biasa dipanggil Iyem." Legiyem tersenyum penuh percaya diri. Giginya yang agak tonggos seolah dipamerkan tanpa ragu. 

"Oh, aku Gadis. Gadis Krismoningsih. Panggil saja Gadis." Gadis membalas sapaan ramah Legiyem. "Kukira namaku sudah kuno, ternyata masih ada yang lebih kuno," ujar Gadis lirih.

"Namamu unik, Krismoningsih. Kamu keturunan bule ya?" tanya Legiyem. 

"Bukan, itu singkatan dari Krisis Moneter. Aku lahir waktu Krisis Moneter tahun 1998." Gadis menatap Legiyem.

"Oh begitu. Aku diberi nama Legiyem karena lahir saat penanggalan Legi. Katanya aku ini manis makanya diberi nama itu. Kamu juga mau jadi pembantu ya? Kenapa tidak jadi model saja, kamu ini cantik lho. Tapi, tentunya lebih cantik aku." ujar Legiyem percaya diri. Dia mengeluarkan lipstik merah dari tas selempangnya yang sudah lusuh. Lipstick itu dipoleskan ke bibirnya. Bedak sachetan berwarna kuning langsat juga dipoleskan ke wajahnya yang berminyak dan kucel. 

"Hah?" Gadis terheran-heran. Dia sangat berusaha menahan kejulidan yang hendak meluncur dari bibirnya. Napas panjang dia hembuskan. 

"Iya, aku mau jadi pembantu juga. Aku tidak secantik itu. Anak panti sepertiku masih hidup saja sudah beruntung." Gadis memeriksa smartphone-nya.

"Kamu anak yatim piatu? Wah, sama. Aku juga sudah tidak punya Ayah. Ayahku sudah meninggal makanya aku merantau ke Jakarta. Adikku ada 3 yang masih sekolah dan kecil-kecil. Ibuku sudah sakit-sakitan. Ih, handphone-mu bagus. Buat foto pasti bagus. Nanti pinjam ya kalo udah sampai asrama. Mau aku upload ke Pesbuk." Legiyem mengeluarkan handphone-nya sebuah handphone yang masih QWERTY. 

 Dibtangannya nampak sebuah handphone yang masih keyboard QWERTY. Handphone itu sudah memiliki layar berwarna. Legiyem memencet tombol handphone itu dengan percaya diri. 

Lihat selengkapnya