Semilir angin bertiup dengan mesrahnya, secara perlahan mataku terbuka dengan kepala yang sangat pusing. Aku lihat disekelilingku terlihat jelas aku berada dirumah sakit, perban–perban putih membalut beberapa bagian tubuhku, pada wajah tangan dan perut. Tanganku pun telah terpasang Infusan. Alhamdulillah aku sangat bersyukur, diriku masih diberi kesempatan untuk beribadah didunia ini, aku kira diriku sudah selesai dengan kejadian yang menimpaku.
Ohh, betapa heningnya malam ini, jam sudah menunjukkan pukul tiga dinihari, waktu yang paling indah bagi umat muslim untuk menunaikan ibadah. Dimana alam terasa hening, suasana yang tenang seakan semuanya berzikir menyerukan nama Allah SWT.
Ingin rasanya aku beranjak dan mengambil air wudhu dan bersimpuh kehadapanNya. Aku ingin bertasbih, berzikir, mengucapkan beribu-ribu syukur, diriku masih diberi keselamatan tak kurang satupun. Sungguh malam mini membuatku menangis haru.
Berita musibah yang terjadi kepada diriku mulai menyebar, Orangtuaku pun datang ke rumah sakit begitu juga dengan kawan–kawan ku Ardi, Wira telah datang. Aku masih terbaring di Rumah sakit ini, masih dikawasan Jakarta Pusat.
Banyak yang bertanya bagaimana kronoligis kejadiannya, termasuk juga salah satu petugas kepolisian yang meminta diriku untuk memberi penjelasan dan kesaksian atas apa yang terjadi pada diriku. Aku hanya bisa tersenyum dan berkata. Sudahlah ini hanya musibah terjadi pada diriku, mungkin ini salah satu nikmat dari Allah agar aku lebih meningkatkan keimanan dan ibadahku yang akhir–akhir ini sedikit mengendor akibat banyak sekali kesibukanku.
Ardi dan Wira memutuskan untuk tidak kembali ke Sukabumi, mereka ingin menemaniku sampai keluar dari rumah sakit. Begitu juga dengan orangtuaku, yang selalu berada disisiku siang dan malam. Mungkin itulah yang disebut kasih sayang orangtua tak akan lekang oleh waktu. Sudah sebesar inipun kalau ada yan terjadi pada diriku selalu saja mereka menangis.
Kejadian ini menjadi momen untuk diriku. Sudah waktunya aku menyampaikan apa yang menjadi isi hatiku saat ini. Aku sampaikan keinginanku pada kedua orangtuaku, Aku berniat untuk mengkhitbah Annisa selepas aku sembuh nanti. Aku menceritakan siapa sosok Annisa, yang aku kenal dari semenjak aku bersekolah di Madrasah Aliyah.
Aku jelaskan pada orang tuaku, bahwa aku tak pernah berpacaran pada wanita manapun termasuk juga pada Annisa, Aku hanya menyimpan rasa yang tak pernah bisa aku ungkapkan kepadanya. Orangtuaku hanya berkata.
“Alhamdulillah, ini yang kami tunggu –tunggu nak.“
“Sudah waktunya kamu membina rumah tangga.”
“Akupun meminta ijin dan restu pada Ibuku untuk mengkhitbahnya nanti.”
Dua minggupun berlalu, kejadian itu telah menjadi kenangan manis untuk diriku. Tiba waktu yang dinanti, setelah meminta ijin kepada kedua orangtuaku, aku pun berangkat untuk misi terbesar dalam hidupku ini. Hari ini aku akan pergi kerumah Annisa untuk mengkhitbahnya.
Hari ini aku telah sampai di kediaman Annisa, Berat rasanya untuk menyampaikan isi hati dari seorang yang tidak pernah memiliki pengalaman dalam cinta. Tubuhku rasanya seperti batu sulit untuk diangkat atau di majukan. Dengan terbata–bata aku Mengutarakan maksud kedatanganku.
“Mohon Maaf bapak Ibu, Saya Arman dari Sukabumi.“
“Mohon diterima salam silatuhrahmii saya.”
"Semoga bapak ibu berkenan atas kedatangan saya hari ini. Mohon maaf juga sebelumnya tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Bapak dan Ibu.”
Annisa tampak terdiam di dalam kamarnya mendengarkan perbincanganku, sungguh betapa ia terkejut dengan kedatanganku yang secara secara tiba–tiba.
"Bapak ibu , inti dari kedatangan saya hari ini selain untuk silatuhrahmi, tetapi ada hal lain yang selalu menjadi perdebatan di dalam batin dan pemikiran saya."