Seminggu berlalu setelah kedatanganku kerumah Annisa, masih menyisakan isak hari yang mendalam ketika khitbahku terhempas, berlalu tanpa tepi. Aku cari berbagai kesibukan untuk berusaha melupakan hal itu. Sepulang dari kantor aku temukan dimejaku sebuah undangan pernikahan. Di undangan itu tertulis Annisa (DR.Hj. Siti Annisa Ratna Nurwiyanti, M.Pd) dengan Ramdani Azis Santo Putera dari kerabat ayah Annisa.
Bergetar tanganku menggenggam undangan itu, betapa wanita yang selama ini dambakan akan duduk dipelaminan bersama dengan orang lain.
Suara Handphone ku berbunyi, menyadarkan lamunanku, aku lihat teryata itu berasal dari guruku. Guruku meminta saat pernikahan Annisa nanti akulah yang membacakan Kalam Illahi.
Yaa Allah betapa indahnya kisah kehidupanku ini, aku tersenyum sedih senyum bersama tetesan air mata. Kuatkah hati kecilku ini membacakan Kalam Illahi disaat menjelang Ijab Qobulnya. Seberapa tegarkah aku nanti.
Lamunan ku terhenti seketika, tiba–tiba pintu rumahku ada yang mengetuk dan mengucapkan.
"Assalamu’alaikum."
Tenyata Wira dan Ardy. Kemudian aku bercerita perihal undangan dan kesanggupanku untuk membaca Kalam Illahi di pernikahan Annisa nanti. Mereka cukup terkejut dengan apa yang telah aku sampaikan.
“Yang sabar Man semua akan ada hikmahnya dan tak mungkin juga kamu dapat menolak permintaan guru kita.”
“Iya Dy, Wir, Ikhlas saja mungkin Allah memiliki rencana yang lain untuk diriku ini.”
Tiba waktu yang telah ditentukan, Pukul 08.00 pagi aku bersama Ardy, dan Wira telah sampai di Sumedang untuk menghadiri pernikahan Annisa.
Sekilas aku melihat Annisa yang lewat menuju ruang tamu. Subhanallah betapa tak dapat aku gambarkan kesempurnaan makhluk yang telah Allah ciptakan itu.
Pukul Sembilan tepat, prosesi acara ijab qobulpun dimulai, proses ijab qobul akan dilaksanakan di aula Madrasah samping Masjid yan kebetulan juga bersebrangan dengan rumah Annisa.
Tubuhku bergetar, jantungku berdegub dengan kencang tak dapat aku saksikan ini, rasanya aku ingin berlari dan berteriak sekencang– kencangnya. Cukup sekali bagiku melihat sepintas paras wajah Annisa yang sedang menunggu di dalam rumahnya bersama dengan keluarganya dan itupun aku tak kuasa, aku tundukkan pandanganku, tak kuat rasanya mata ini walau hanya sepintas saja melihat parasnya.
Keringat dingin mengucur pada tubuhku, ingin cepat rasanya ini berakhir dan melangkah pergi dari kerumunan ini. Waktunya pun tiba, untuk aku membacakan kalam Illahi. Dengan mengucap Bismillah aku langkahkan kakiku ke depan podium, Aku bacakan kalam Illahi dengan begitu khusyu dan khidmat, aku lupakan semua yang terjadi pada diriku aku pejamkan mataku, fokus pada ayat–ayat Alqur’an yang aku bacakan.
Selesai sudah tugasku, membacakan kalam Illahi yang telah dipintakan oleh Guruku. Betapa aku lihat kebahagiaan dari seluruh orang yang ada disini, begitu juga dengan guru-guruku yang menyaksikan ijab Qobul ini. Pak Deny dan Pak Yusup selaku guru Fikih dan Alqur’an Hadist menghampiriku.
“Man bapak bangga sama kamu, kamu telah menjadi Qory yang sangat terkenal dan suara kamu bagus banget."
“Terimakasih banyak pak, bapak terlalu memuji, semua ini berkat bimbingan pak Yusup, pak Deny juga semua guru pak."
“Bapak baru kali ini Mad menyaksikan pembacaan Kalam Illahi, yang Qorynya sepanjang pembacaan Alqur’an menenteskan air mata, semua yang ada ditempat ini sangat khusyu dan khidmat tak sedikit pula yang meneskan airmata.”
“Terima kasih pak,saya juga masih belajar.”
“Man, Man kamu ini selalu ajah tawadhu.“
Proses prosesi ijab qobulpun selesai, aku pergi berlalu jauh dari tempat ijab qobul sesudah tugasku selesai. Betapa aku tak dapat menyaksikan itu, aku takut aku jatuh pingsan. Aku menunggu untuk bersalaman dan mengucapkan selamat pada kedua mempelai.
Aku langkahkan kakiku, menuju pelaminan untuk memberikan selamat, aku tundukan kepalaku tak sedikitpun aku melihat paras Annisa dan sampai dihadapannya pun aku hanya mengucapkan.
"Selamat yah Annisa semoga menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah.“
Dan aku pun bersalaman dengan mempelai prianya, tetap dengan kepala tertunduk, aku pun berlalu.
Lega rasanya hati ini, aku pun langsung beranjak pergi, aku telepon Ardy dan Wira, bahwa aku akan pulang duluan, aku butuh waktu untuk sendiri, untuk menumpahkan airmataku yang terakhir kalinya.
Aku lajukan mobilku, sambil terisak tangis aku kendarai mobilku ini dengan kecapatan 80 km/jam. Ini salahku semua ini memang salahku, aku terlambat.