Setelah menghibur teman kecilnya. Ia memutuskan pulang. Dalam perjalanan, Lagi-lagi Zakra merasakan sesak tepat pada bagian dada. Bayangan dua tahun berlalu tanpa henti mengikuti kemanapun kakinya melangkah. Suara sirine polisi, kilatan cahaya berasal dari kamera dan berbagai pertanyaan terlontar dari para wartawan. Rasa sesak semakin terasa. Rongga di dalam dada tidak dapat menerima udara. Zakra memejamkan mata, buliran keringat memenuhi area wajah hingga mengalir ke leher jenjang. Ragil berniat menghampiri Zakra. seketika bola mata membulat secara sempurna. Melihat tubuh Zakra meringkuk di atas aspal. Ragil berlari menghampiri Zakra yang terlihat posisi tiduran di atas jalanan dengan wajah penuh keringat sambil berguman tidak jelas. ‘’lo kenapa anjir!’’ tidak ada balasan. Dengan wajah khawatir, Ragil membantu Zakra bangkit.
Zakra berusaha mengatur deru napas seperti habis lari. Karena bingung, Ragil kembali bertanya, ‘’Zak, lo kenapa?’’ pertanyaan yang Ragil lontarkan semakin banyak setelah melihat wajah Zakra pucat. ‘’lo sakit? Lo kenapa? Jawab!!! jangan bikin gue panik!!!’’
Zakra menatap Ragil. Membuat tubuh Ragil diam. Tatapan Zakra terlihat memendam sesuatu, bukan tatapan dingin melainkan sesuatu yang disembunyikan.
‘’lo bisa jalan? Masa gue gendong. Entar dikira orang lain yang aneh-aneh.’’
Zakra memejamkan mata sebelum membalas ucapan Ragil, ‘’gue bisa jalan sendiri.’’
‘’lo belum makan apa gimana? Muka udah kaya mayat,’’ kata Ragil kembali.
‘’besok gue izin, gue mau ke suatu tempat,’’ balasnya dengan nada lemah.
Ragil menggelengkan kepala, menghilangkan apa yang sedang ia pikirkan. ‘’jangan bilang lo mau loncat dari jembatan layang!’’