Zakra meneguk teh pucuk hingga habis. tatapan datar selalu menghiasi wajahnya. Tanpa seulas senyuman menjadi hal yang biasa. Hari Ini, Zakra berencana ke makam kedua orang tuanya jam dua siang. Sebelum ke sana. Zakra mencuci motor terlebih dahulu. Berkat Ragil, ia masih bisa bertahan hidup. dirinya tak tahu bila tidak bertemu pria itu, mungkin hidupnya hanya berserah diri kepada sang pencipta tanpa usaha. Walaupun Zakra merasa bahwa hidupnya benar-benar datar, tidak ada hal yang bias dibanggakan, termasuk dirinya sendiri.
Sinar matahari semakin panas, kulit seperti terpanggang. Zakra mengambil selang panjang kemudian ia arahkan ke motor Satria. Dengan fokus, Zakra membersihkan motor hitam tersebut hingga busa sabun tak lagi terlihat. Semenjak ke dua orangtuanya meninggal, saudara pun tidak ada yang membantu, melainkan berusaha merebut harta ke dua orangtuanya. Zakra menekuni pekerjaan yang telah ia geluti cukup lama, yaitu bekerja di bengkel atas ajakan Ragil.
‘’Zakra!’’ panggil Ragil, pria memiliki postur lebih pendek daripada Zakra.
Zakra menoleh, menunggu apa yang ingin pria itu katakan.
Ragil mengangkat satu bungkus batagor yang ia genggam di tangan kanan. ‘’gue beliin batagor, gue taruh di atas meja, ya!’’
Zakra mengacungkan ibu jari. ‘’makasih!’’ kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali.
Kurang lebih satu setengah jam Zakra mencuci beberapa motor secara bergantian. hari ini dua kali lipat lebih banyak. Biasanya hanya ada beberapa motor saja. Terlihat lima motor terparkir menunggu giliran. Pak Sugri, pemilik cuci motor memperkerjakan empat karyawan namun dua karyawan izin tidak masuk. Tinggal dirinya dan Ragil yang bekerja. Alhasil, mereka kelelahan.
‘’lo istirahat aja, gue yang lanjutin.’’ entah sejak kapan Ragil berdiri di belakang Zakra. ‘’muka lo kusut banget,’’ lanjutnya terkekeh kecil.
Zakra menanggapi ucapan Ragil dengan senyuman tipis. Kemudian ia membalas, ‘’lo nyuci dua aja.’’
Kedua bola mata Ragil melihat ke arah motor yang berjejer, kemudian menatap Zakra kembali.‘’enggak. lima-limanya gue cuci.’’
Zakra mengangguk acuh. ‘’terserah lo aja.’’
Di tempat yang berbeda, Raflesia tertawa bersama Gery sambil menikmati jam kosong. sebab, dosen tidak hadir dikarenakan istrinya melahirkan. Dan yang lebih menyebalkan, Raflesia mengetahui info tersebut setelah tiba di kampus. Andaikan ia tahu terlebih dahulu, dirinya tidak perlu takut telat di jam pertama. Sedangkan Gery, kelasnya jam tiga sore. Gery adalah teman Raflesia dari SMA. Gery memperhatikan wajah gadis itu dari samping. ‘’lo kenapa suka banget lihat langit siang bolong kaya gini?’’ tanyanya heran, bahkan Gery pun malas melihat ke atas karena terik matahari membuat mata sakit.
Raflesia tersenyum tipis. ‘’nggak tahu, gue juga bingung kenapa suka sama sinar matahari.’’
‘’kebanyakan orang suka hujan, gue juga gitu. Lebih suka hujan daripada panas kaya gini,’’ balas Gery memegang kulitnya sendiri. ‘’bikin kulit kusam juga.’’ Kemudian memperhatikan tangannya yang belang.
‘’dan gue nggak suka hujan,’’ sambung Raflesia menatap pria tersebut.