Zakra pejamkan mata, sesekali menghirup udara secara dalam-dalam. terdengar suara kendaran saling bersahut-sahutan, tak lupa ditemani gitar di pangkuannya. Jari-jari tangan sebelah kanan memetik senar gitar, jalan layang telah menjadi saksi bisu ketika raga Zakra terperangkap di dalam pusaran masa lalu. Saat ini ia sedang duduk di atas ban mobil bekas yang ia jadikan kursi. kedua bola matanya tak lepas memandang kemacetan di pertigaan lampu merah. Tatapannya terkunci pada satu titik, terdapat Motor Ninja hitam tak jauh berhenti dari jangkauannya. Menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Zakra tersenyum miring, mengingatkan motor kesayangannya.
Ragil melihat Zakra dari kejauhan. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana. Ia tidak berniat menghampiri temannya. karena Ragil mengerti bahwa yang Zakra butuhkan ruang sendiri, tidak ingin diganggu orang lain, hanya menikmati kesepian. Ragil terkekeh kecil. Bahkan, hingga saat ini pun Zakra sama sekali tidak pernah membuka ruang untuk orang lain mengenal dirinya lebih dalam. Dan yang ia tangkap bahwa pria itu memiliki kenangan yang begitu menakutkan hingga membuat Zakra tak bisa mengenal orang lain secara baik. Ragil pun mengerti bahwa Zakra menganggap dirinya hanya sebatas kenal, bukan teman. Setelah melihat Zakra, ia kembali ke kontrakan. Tubuhnya pun merasa lelah, yang ia butuhnya hanya istirahat.
Detikan jam terus berjalan, udara malam semakin terasa. Zakra memutuskan mampir terlebih dahalu ke kontrakan sebelum pergi dari sini kemudian melanjutkan perjalanan tanpa tujuan. Tidak mungkin dirinya berjalan kaki sambil membawa gitar.
Ragil sedang menghisap asap rokok hingga memenuhi rongga di dalam dada, di bawah lampu jalanan, tepat di depan kontrakan tanpa pagar. Kedua bola matanya menyipit, melihat Zakra dengan langkahan pelan menghampirinya. ‘’gue nitip gitar.’’
Ragil menjauhkan menjauhkan sebatang rokok dari hampitan bibirnya. ‘’lo mau ke mana?’’
‘’jalan,’’ sahutnya datar.
Bila sudah dijawab dengan nada tak bersahabat, ditambah sorotan mata mengatakan bahwa jangan banyak bertanya. Membuat Ragil hanya mengagguk pelan kemudian—
menempelkan rokoknya kembali pada hampitan bibir.
Zakra mengikuti kemanapun kaki membawa ia pergi langkahannya terhenti. Kedua bola mata memandang kampus tepat berada di depannya. Kampus tersebut terdapat tulisan ukuran besar. Univeritas Graselia. Lalu ia menundukan kepala, menatap sepasang kakinya sendiri. Zakra baru menyadari bahwa kedua kakinya telah berjalan cukup jauh. tapi, mengapa dirinya sama sekali tidak merasakan rasa lelah? Apa karena rasa sesak di dalam dada yang begitu menyakitkan membuat dirinya tidak bisa merasakan apa-apa?
Zakra mendesah berat, ia tidak tahu lagi bagaimana caranya menghampas bayangan tersebut. Mungkin, kehidupannya takan pernah damai. Selalu terperangkan di dalam kenangan.
ia baru pertama kali ke daerah sini. Tatapannya menyapu ke arah kanan-kiri, memperhatikan keadaan sekitar terlihat sangat asing. Zakra mengayunkan kakinya kembali tanpa rasa takut tersesat. ia memasuki gang cukup sepi, mungkin karena sudah malam. Dengan langkahan santai mengikuti alur jalan. Zakra terenyum tipis, ternyata jalanannya nyambung-nyambung ke jalan layang lagi.
Raflesia kebetulan sedang mengantar Gery membeli peralatan tulis di tempat foto copyan daerah kampus. tanpa sengaja melihat pria tak asing yang akhir-akhir ini sering ia lihat di bawah jalan layang.
Baru saja ingin menyapa, namun niatnya ia urungkan kembali. Sebab, Zakra melewati begitu saja tanpa menyadari kehadirannya yang jelas-jelas sedang berdiri di samping motornya. Entah kenapa dirinya ingin sekali mendekati pria itu.
Gery baru keluar dari foto copyan, menatap heran. ‘’lo, kenapa?’’ kemudian mengikuti arah tatapan Raflesia.