Menutup Diri

Rida nurtias
Chapter #10

9. Cerita di jalan layang

niat awal ingin mendekati Zakra tidak terlaksanakan. Pria itu terlihat sangat sibuk. Dari tadi bolak-balik ngambil peralatan bengkel, membuat Raflesia hanya bisa melihat pria itu. Ragil pun ikut kesal karena sikap cuek Zakra benar-benar tingkat tinggi. Ragil baru pertama kali bertemu manusia seperti Zakra. Udah cuek, dingin, hemat bicara. Sebentar…mana ada orang cuek mgomongnya banyak. Setelah menggulung selang baru saja digunakan untuk mencuci motor, pria menggunakan kaos tanpa lengan menghampiri wanita yang sedang duduk di salah satu kursi tunggu. Sebelum Raflesia berbicara. Ragil memulai percakapan terlebih dahulu, ‘’lo pasti bingung sama ucapan gue tadi.’’

Raflesia mengangguk, bagaimana tidak heran. Tiba-tiba Ragil mengucapkan kalimat seperti teka-teki.

Ragil mengambil satu batang rokok dari tempatnya, kemudian ia taruh diantara selipan bibir tipisnya. Lalu ia nyalakan menggunakan korek gas. Sebelum bercerita, Ragil menghisap asap dalam-dalam kemudian ia hembuskan. ‘’maaf, ya gue ngerokok di dekat lo.’’ Bagaimanapun, tidak semua menyukai asap rokok.

Raflesia tersenyum tipis. ‘’santai aja kali.’’

Ragil mengapit batang rokok masih panjang diantara selipan kedua jari. ‘’Zakra belum pernah cerita tentang masa lalunya ke gue.’’

‘’terus kok, lo kaya paham gitu?’’

‘’karena gue sering lihat dia selalu menyendiri, yang lain saat jam istirahat makan bareng. Zakra lebih sering keluar dari bengkel. Dia lebih suka di bawah jalan layang ber jam-jam daripada di tempat keramaian,’’ jelas Ragil mengutarakan apa yang ia lihat selama ini.

‘’bawah jalan layang kan juga ramai, banyak anak kecil juga.’’

Ragil membenarkan ucapan wanita itu. Ia menganggukkan kepala lalu tersenyum tipis. ‘’bagi dia, keramaian di bawah jalan layang sama di tempat lain itu beda. Di bawah jalan layang, dia bisa bawel ya walaupun nggak berbicara terus. setidaknya kalimat yang dia lontarkan lebih banyak daripada biasanya. ‘’ Ragil menatap Zakra sedang berbicara bersama pelanggan. ‘’lo pernah lihat dia di bawah jembatan layang?’’ tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari pria itu.

Raflesia teringat beberapa hari yang lalu, ia melihat Zakra bisa tersenyum ketika anak kecil mengajak dirinya berbicara. ‘’pernah, Zakra terlihat sangat beda. Lebih ceria.’’

‘’gue juga nggak tahu alasannya kenapa teman gue sangat tertutup. Di sini aja, hanya gue doang yang dekat sama Zakra. Yang lain hanya sebatas sapa doang, anak-anak pada takut kalau ngajak Zakra ngobrol, dijutekin terus. Nggak kebayang kan, lo? Cowok aja lari apalagi cewek.’’ Ragil menoleh ke arah Raflesia. ‘’tapi lo beda, lo berusaha agar bisa dekat sama Zakra.’’ Dengan nada sedikit ragu, Ragil bertanya, ‘’kalau boleh tahu, tujuan lo deketin Zakra karena apa?’’

Pertanyaan Ragil berhasil membuat Raflesia tidak tahu harus menjawab apa. Ragil merasa bahwa dirinya salah bertanya, menggaruk tengkuk leher. ‘’maaf ya, gue kaya kepo banget. Tapi gue mau bilang makasih banget sama lo mau deketin Zakra dan gue harap lo bisa bikin dia terbuka sama orang lain di sekitarnya.’’

Raflesia melihat sepasang sepatu yang ia kenakan, sesekali menggoyangkan kaki jenjangnya. Karena ucapan Ragil, dirinya jadi ikut penasaran ada apa dengan masa lalu pria itu? Mengapa bisa membuat Zakra menutup rapat-rapat tentang kehidupannya? Apa sangat menyakitkan? Dengan mendesah pelan. Raflesia tersenyum singkat, lalu membalas ucapan Ragil, ‘’gue akan coba.’’

Ragil merasa senang karena jawaban Raflesia berikan. ‘’makasih, ya.’’ Lalu bangkit dari kursi. ‘’gue lanjut kerja dulu.’’ Kemudian meninggalkan gadis itu.

Secara samar, Zakra mendengarkan percakapan mereka ber dua. Namun, tidak semua ia tangkap maksud dari bahan obrolan. Sebab, jaraknya tidak terlalu dekat. Zakra mengangkat ke dua bahunya. Bukan urusan gue, ujarnya pada diri sendiri.

 

Lihat selengkapnya