Sudah cukup lama Raflesia mengonsumsi obat tidur. Insomnia yang ia alami membuat dirinya merasa lelah sendiri. Sebenarnya, faktor utama bukan karena dirinya tidak bisa tidur. Melainkan, ia selalu memikirkan apa yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan. Terkadang, ketika dalam keadaan sunyi, sepi, tiba-tiba saja pikirannya berkelana membuat Raflesia merasa bahwa ia tidak berguna. Beberapa pesan dari ke dua orang tua angkatnya sama sekali belum ia baca. Raflesia tidak ingin membalas karena satu hal. Ia merasa bahwa dirinya membebani kehidupan mereka. Andaikan kedua orang tuanya tidak meng-adopsi ketika Raflesia ber-usia lima tahun, pasti Mamah dan Papahnya tidak perlu bekerja keras hanya untuk biaya kuliah dan kehidupan dirinya di Jakarta. Itu yang Raflesia pikirkan saat ini.
Raflesia sangat mengerti bahwa mengonsumsi obat tidur efek sampingnya tidak baik, namun mau bagaimana lagi?
Lamunannya teralihkan ketika ponsel berada di atas kasur mengeluarkan suara. Sebelum menjawab sambungan telfon, Raflesia menghirup udara dalam-dalam.
Assalamu’alaikum, Mah.
Raflesia menggigit bibir bawah, menahan isakan tangisan, rasa bersalah lagi-lagi menyelimuti hati.
waallaikum’sallam. Kamu sudah, makan?
Raflesia mengangguk walaupun Mamahnya di sebrang sana tidak melihatnya.
Sudah, Mah. Sudah dulu ya, Aku lagi di kampus.
Tangisan yang ia tahan akhirnya pecah menjadi deras.
Keesokan paginya. Raflesia mendesah pelan, melihat wajahnya sendiri dari pantulan kaca. Mata sembab dan bengkak membuat Raflesia tidak mengenali dirinya sendiri. Bagaimana bila Gery bertanya? Yang biasanya ia selalu terlihat ceria tiba-tiba dalam keadaan menyedihkan. Raflesia benci terlihat lemah. Raflesia mendengus kasar, tidak mungkin mata sembab bisa seperti awal dalam sekejap. Apalagi durasi tangisan cukup lama. Ia masuk ke dalam kamar mandi terlebih dahulu, bersiap-siap ke kampus. Setelah selesai mandi, Raflesia membuka pintu lemari, mengambil pakaian. Merasa sudah selesai, ia langsung keluar dari kos-kosan, tak lupa mengunci pintu. Baru saja ingin membuka pagar, ada satu yang tertinggal. Kacamata. Raflesia membalikkan badan, kembali ke kos-kosannya.
Gery melihat penampilan Raflesia ada yang berbeda langsung meledek wanita itu yang sedang berjalan santai di koridor utama kampus. ‘’kesambet apa, lo? Pakai kacamata segala,’’ decaknya terkekeh geli.
Raflesia memutar badanya bak model. ‘’gimana? Cocok, kan?’’