Menutup Diri

Rida nurtias
Chapter #14

13. Tanda tanya

Karena ucapan Ragil tentang perasaannya ke Raflesia membuat ia tidak bisa tidur. jam menunjukan pukul dua dini hari. Padahal, tenanganya telah terkuras karena kerja. ditambah jalan kaki menyelusuri kota malam tanpa tujuan dan jaraknya cukup jauh. Suara dengkuran Ragil membuat pria itu semakin tidak bisa memejamkan mata. Kedua bola mata menatap langit-langit kamar walaupun hanya gelap yang ia lihat sebab lampu kamar telah dimatikan.

Zakra tersenyum tipis, mengingat apa saja yang telah Ragil berikan kepadanya termasuk tempat tinggal dan setiap kali ia ingin membantu untuk membayar sewa kontrakan namun cowok tersebut selalu menolak dengan alasan uang hasil kerja lebih baik ditabung. Walaupun begitu, entah mengapa Zakra masih belum bisa menganggap bahwa pria yang sedang tidur memunggunginya termasuk pria baik. Entalah, semenjak kejadian dimana teman yang ia anggap sahabat bahkan seperti saudara sendiri dengan teganya memilih pergi ketika Zakra benar-benar masa fase membutuhkan dukungan bukan ditambah tekanan dan beban.

Pergerakan kasur membuat Zakra menoleh ke Ragil. Seketika ia mendecih kesal karena kakinya dijadikan guling. Zakra langsung menghampaskan kaki tersebut dari tubuhnya. ‘’tidur jangan banyak ulah.’’ Tidak ada sahutan, Ragil masih terjaga dalam tidurnya.

Hingga secara perlahan mata Zakra terpejam tepat di angka tiga dini hari.

 

Ke esokan harinya, Zakra merasa terusik karena lagu Starlight-Muse terputar dengan volume berhasil membangunkan dirinya yang baru saja tidur. Zakra mengerjapkan mata. ‘’berisik, Gil!!!’’

‘’bangun, woy!!! Udah jam delapan.’’

Zakra mengerjapkan kedua bola mata. Dengan langkah gontai ia ambil handuk di balik pintu lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ragil tersenyum puas, kini ia tahu cara membangunkan seorang Zakra. Cukup menyalakan lagu dengan volume kencang. Ragil sedang mengaduk teh manis. Beberapa menit kemudan Pria itu keluar dari kamar mandi. Ragil Berdecih pelan, ‘’mandi apaan lo—‘’ ia taruh tempat gula pada rak tertempel pada tembok. ‘’nggak mandi nih pasti!’’

Zakra hanya berdecih pelan kemudian duduk di atas lantai, tangannya sibuk mengikat tali sepatu. bagian alas sepatu terbuka sedikit. Ia belum bisa membeli sepatu baru. Ragil menghembuskan napas pelan lalu mengambil sepatu miliknya. ‘’pakai punya gue aja,’’ tawarnya meminjamkan sepatu hitam kepada pria itu.

‘’nggak usah, sepatu gue masih layak.’’

‘’pakai aja dulu, jangan keras kepala!’’

Zakra merasa Ragil tidak berhak tentang barang yang ia kenakan walaupun sudah tak layak dipakai namun dalam situasi apapun selama dirinya bisa, Zakra tidak menerima bantuan orang lain. Itu yang diajarkan oleh almarhum Ayahnya.

Ia rapihkan rambut menggunakan celah jari lalu tersenyum tipis dan singkat. ‘’gue berangkat.’’

Ragil hanya membalas dengan cara angggukan kepala. ‘’nggak makan dulu?’’

Zakra hanya menggeleng pelan lalu memutar daun pintu. Sinar matahari menyapa dengan senyuman yang menerka. Sebelum melanjutkan langkahan, ia memejamkan mata secara singkat, meyakini diri sendiri hari ini lebih baik dari hari sebelumnya. Tetangga kontrakan sebelah menyapanya. Zakra membalas dengan anggukan kepala diselingi senyuman tipis. Dirinya tak pandai adaptasi di lingkungan baru. Walaupun sudah dua tahun ia tinggal di sini namun secara pribadi, Ia belum bisa berbaur.

Anak kecil tanpa sengaja menabrak tubuhnya. Dengan sorotan mata takut, bocah itu menundukan kepala. Tidak berani menatap mata Zakra membuat pria itu menggeleng pelan. Segitu seramnya aura dirinya? Membuat anak kecil takut. Zakra berjongkok, menyamakan tinggi dengan anak kecil itu. ‘’libur?’’

Dia mendongakan kepala, dengan ragu menjawab pertanyaan Zakra, ‘’iya, kak.’’

Zakra mengangguk, seingatnya jadwal sekolah masuk jam tujuh pagi sedangkan sekarang sudah jam setengah Sembilan pagi.

‘’hati-hati ya, jangan lari-larian. banyak kendaraan. nanti kalau ketabrak gimana?’’

Lihat selengkapnya