Menunggu hal yang biasa, seberapapun lamanya waktu membuat dirinya enggan beranjak. Pria itu tetap menunggu. Bahkan, dari dulu pun kata menunggu bukan lah hal yang asing. sebab kata itu sudah menyatu hingga ia sulit keluar dari zona nyaman. Gery duduk di atas motor yang ia berhentikan tepat di depan pagar kos-kosan gadis tersebut. Sudah dua puluh menit ia berada di sini. Tenggorokan merasa kering, Gery mampir ke warung terletak tak jauh dari kos-kosan Raflesia sehingga membuat dirinya tak perlalu membawa motor.
Gery membuka pintu lemari es lalu ia ambil granita, tak lupa membayar ke penjualan. Ia memutuskan untuk duduk di depan warung tersebut sambil mengamati motornya. Rasa bosan mulai terasa, langit semakin sore, sekelompok burung terbang menghiasi senja. Karena tak mau kehilangan kesempatan sebagai pecinta alam. Gery mengabadikan menggunakan kamera ponsel. Ketika memfokuskan objek langit, tatapannya bukan ke layar ponsel melainkan melihat dua orang sedang bencengkrama layaknya teman dekat.
Gery mengamati secara diam, memperhatikan pria terlihat sedang memberikan kunci motor ke gadis itu.
Raflesia tersenyum tipis. ‘’makasih, ya! Ngaterin gue. harus nya lo nggak usah nganterin segala.’’
Zakra mengangguk singkat, hembusan angin membuat rambutnya berantakan. Raflesia melihat rambut Zakra menjadi salah fokus, pria di hadapannya terlihat lebih keren. Suara Zakra membuyarkan lamunan Raflesia. ‘’kalau bukan Ragil yang maksa pakai segala ngancam potong gaji. Gue malas banget nganterin lo.’’
Pujian yang baru saja terbesit di dalam pikiran Raflesia langsung menghilang. ‘’tinggal lo tolak susah amat!’’ balasnya tak lebih kalah ketus.
‘’gue pulang.’’ Sudut bibir Zakra ketarik hingga membentuk senyuman namun tak bertahan lama. ‘’jangan sering pulang malam, lo cewek.’’
Raflesia tertegun, apa ia tidak salah dengar? Raflesia tersenyum lebar. namun tidak dapat bertahan lama setelah Zakra melanjutkan ucapannya kembali, ‘’jangan ge-er, gue—‘’
Nggak mau harus nganterin lo.’’
‘’apa, sih? Sekarang aja masih sore. Lo juga baru pertama kali, kan? nganterin gue?’’
‘’ya kan nggak ada yang tahu, siapa tahu besok lo ngerepotin gue lagi.’’
Raflesia menahan kesabarannya, dengan senyuman paksa terlihat menyeramkan. Ia menginjak kaki Zakra membuat pria itu mengaduh kesakitan. Raflesia tertawa senang. ‘’makanya jadi cowok jangan nyebelin!’’