Langkahan kaki Raflesia terhenti seketika, kedua bola mata melihat pemandangan membuat situasi menjadi memanas. Terdapat dua pria saling memandang satu sama lain. Zakra dengan wajah datarnya sedangkan Gery dengan sorotan penuh kebencian. Sebelum terlambat, Raflesia melanjutkan langkahannya hingga berdiri di tengah-tengah antara mereka ber dua. Raflesia melihat ke Gery sesaat lalu beralih ke Zakra. ‘’lo ngapain ke sini?’’ tanpa basa-basi, ia langsung bertanya dengan nada tak bersahabat. Rasa kesal, sakit hati masih singgah di lubuk hatinya saat ini.
‘’gue mau minta maaf. ‘’ ini semua karena Ragil dengan cara memaksa dirinya harus buang energi ke kos-kosan Raflesia untuk meminta maaf. Sebenarnya di lubuk hati kecil Zakra ia merasa bersalah juga tapi karena sifat ego yang tinggi membuat Zakra malas ke sini.
Gery hanya menjadi penonton, mendengarkan percakapan dua orang sama sekali tidak ia pahamai. dengan teliti dirinya melihat ekpresi Zakra dan Raflesia secara bergantian. Apa karena pria itu? Membuat Raflesia menangis?
Raflesia memasukan tangan ke dalam kantung celana sebelah kanan, menunggu apa yang Zakra ingin katakana selanjutnya.
Zakra membuang napas dalam-dalam, sinar matahari membuat keringat membasahi tubuhnya semakin banyak dan ia yakin sekarang baju belakang basah karena keringat. ‘’nggak seharusnya gue ngomong kaya gitu,’’ jelasnya kemudian sambil menghapus keringat pada bagian wajah menggunakan telapak tangan.
Tidak mau mendengarkan ucapan Zakra lebih lama, pria yang dari tadi mencerna perkataan Zakra. Gery langsung memukul wajah pria itu, membuat Raflesia menutup mulut menggunakan tangan karena terkejut melihat Gery memukul secara tiba-tiba. ‘’jadi lo yang bikin teman gue nangis, hah?!’’ seru Gery tidak terima.
Tubuh Zakra terjatuh hingga menempel pada aspal. Ia pegang sudut bibir merasa sakit dan mengeluarkan darah. Ia bangkit kembali lalu tersenyum tipis. ‘’pukulan lo boleh juga,’’ setelah mengucapkan kalimat itu, tangan kanan mengepal dengan satu Gerakan ia langsung memukul wajah Gery dengan tenaga cukup keras. Luka yang Gery dapatkan lebih parah daripada dirinya. Raflesia langsung menahan lengan Gery yang ingin membalas pukulan kembali. ‘’gue mohon…jangan berantam,’’ kata Raflesia dengan suara bergetar karena menangis.
Beberapa Abang ojek melihat aksi Gery dan Zakra. Bahkan ada yang mencibir, ‘’biasa masalah anak Remaja karena cinta.’’
Zakra mangatur deru napas tak beraturan. ‘’terserah lo mau maafin gue apa nggak, yang penting gue udah minta maaf.’’ Lalu beranjak pergi.
Sepeninggalan Zakra. Raflesia langsung menarik tangan Gery menuju luar gang. Mencari tempat tak dijangkau dengan tetangga. Tak jauh dari gang, warung sedang tutup menjadi tempat mereka ber dua berbicara secara empat mata. ‘’lo apa-apaan, sih?! Ngapain pakai acara mukul segala?!’’
‘’gue nggak terima lo disakitin dia!’’
Raflesia memejamkan mata, ia tidak tahu jalan pikiran Gery yang selalu terbawa emosi. ‘’tapi nggak usah pakai acara berantem segala!’’
‘’dia emang pantas, karena dia jarak kita semakin jauh Fle!!!’’
Raflesia tak bergeming, wajah penuh amarah Gery, suara kencangnya membuat Raflesia tak menyangka baru pertama kali Gery berteriak tepat di depan wajahnya.
Gery menyadari seharusnya ia tidak meneriaki wanita langsung meminta maaf dengan raut wajah penuh dengan penyesalaan. ‘’gue nggak bermaksud teriak, Fle. Maaf…’’
Raflesia tidak mempersalahkan ucapan Gery namun dengan kalimat menimbulkan tanda tanya. ‘’maksud lo apa? Karena Zakra jarak kita merenggang?’’ tanyanya meminta penjelasan. Raflesia tahu bahwa temannya itu sekali ada yang tidak ia sukali langsung jujur seperti barusan.