Zakra hanya tersenyum kikuk. ‘’kalian nggak mau masuk?’’
Tafli langsung melajukan mobilnya, kaca jendal dibuka. Dua Satpam penjaga rumah Zakra menghampiri mobil yang mereka naiki. Terkadang, Zakra tidak tahu kenapa Ayahnya mempekerjakan dua orang sebagai penjaga rumah. Itu terlalu…berlebihan.
Ragil mendengarkan cerita Zakra dengan serius, tangan menopang dagu di atas meja, sesekali keningnya berkerut. Membayangkan rumah si cowok misterius. ‘’alamat rumah lo di mana?’’
Zakra meneguk kopi hitam yang ia beli di warung tak jauh dari bengkel. ‘’gue lanjutin dulu. entar aja tanya nya,’’ cetus Zakra pelan.
Ragil mengangguk cepat. ‘’lanjut.’’
Tafli langsung menyambar stick PlayStation bersama Yudha. Zio dan Egra memilih untuk tiduran di atas kasur. Fery yang sejak dari tadi hanya diam tanpa merespon seperti teman lainnya, memilih untuk duduk di sofa dekat jendela berukuran besar. main game online di ponsel.
Hari selanjutnya hingga seterusnya, mereka ber lima memutuskan kamar Zakra dijadikan tempat ngumpul. Awalnya Zakra tidak setuju namun karena mereka terus meminta, membuat Zakra hanya bisa meng iyakan. Dan semenjak Fery, Zio, Yudha, Tafli maupun Egra main ke rumah. Membuat suasana rumah hidup kembali. Sebenarnya Zakra tidak pernah menyalahkan ke dua orang tuanya sebab ia mengerti bahwa itu semua untuk dirinya juga. Namun, sebagai anak. Zakra juga ingin merasakan seperti anak lainnya. Meraskan kehadiran orang tua yang lengkap tanpa sibuk bekerja setiap hari.
Zakra mengambil buku sejarah di rak pada sudut ruangan kemudian mendaratkan bokongnya di samping Egra. tanpa berbicara—
Ragil memotong ucapan Zakra, ‘’kapan-kapan dong ajak gue ke rumah lo!’’
Zakra tersenyum masam. ‘’buat, apa? Lo mau lihat penampakan?’’
‘’ya…ya nggak penampakan juga,’’ balas Ragil sedikit takut. Karena tidak ingin merusak perasaan Zakra, ia mengatakan kembali, ‘’gue bercanda doang, lanjut lagi.’’
Pria sedang meneguk kopi yang tak sepanas seperti awal, menarik napas dalam-dalam. Sejujurnya, ia sama sekali tidak ingin membuka kenangan itu namun setelah sekian lamanya terpendam. yang ada rasa sakit semakin menumpuk dan dirinya pun menyadari bahwa semuanya tidak bisa disimpan sendirian meskipun hatinya kuat, ada kalanya berubah menjadi lemah. ‘’semenjak itu, mereka selalu main ke rumah gue. gue yang awalnya keberatan secara perlahan ikutan senang. Lama-kelamaan kalau lagi jajan, nonton apapun itu gue yang bayarin mere—‘’
‘’Hah?! Lo ngapain trakktir segala?!’’