I
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, sejumlah prajurit TNI binaan PKI melancarkan usaha menculik para jenderal pimpinan Angkatan Darat yang dinilai PKI sebagai sangat anti-Komunis. Kecerobohan perencanaan operasi penculikan menyebabkan sasaran terpenting operasi terbunuh di tempat. Sisanya dihabisi di Lubang Buaya. Dengan latar belakang itu, muncullah Mayjen TNI Soeharto, Panglima Kostrad waktu itu.
Presiden Sukarno menyikapi terbunuhnya para jenderal sebagai suatu hal yang “biasa terjadi dalam Revolusi”. Dengan sikap demikian, langkah pertama Sukarno pagi itu bukanlah mencari tahu siapa yang membunuh para jenderal dan di mana mayat para pemimpin tentara dikuburkan. Yang segera dilakukan Sukarno pagi hari awal bulan Oktober itu adalah segera menunjuk Mayjen TNI Pranoto Reksosamodra (Asisten III bidang Personalia Panglima Angkatan Darat) menjadi pejabat sementara (Pjs.) pimpinan Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani yang telah dibantai para perwira binaan PKI beberapa jam sebelumnya.
Kemudian, ternyata Jenderal Pranoto tidak dimungkinkan menjalankan perintah Sukarno. Dengan cepat—mengikuti kebiasaan di Angkatan Darat sejak Jenderal Yani menduduki kursi Panglima Angkatan Darat—Panglima Kostrad, Mayjen TNI Soeharto dengan dukungan Jenderal TNI A.H. Nasution mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dari pejabat yang “menghilang”. Beberapa waktu kemudian, Pangkostrad memerintahkan penangkapan Pranoto Reksosamodra. Alasan tindakan itu adalah karena operasi intel yang berhasil menangkap Kolonel Latif mendapatkan surat pada saku sang Kolonel—seorang yang berperan penting dalam Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu)—yang ditujukan kepada Pranoto. Isi surat itu adalah Latif meminta perlindungan Pranoto sebagai pejabat pimpinan Angkatan Darat yang baru ditunjuk Presiden Sukarno. Surat itu memperkuat kecurigaan terhadap Pranoto, seorang Sukarnois, sebagai perwira yang paling sedikit dianggap bersimpati kepada Gestapu.
Melewati power struggle (pertarungan kekuasaan) antara Soeharto—sebagai pemimpin “partai” tentara—melawan Presiden Sukarno, pada awal 1968, akhirnya Presiden pertama Republik Indonesia tersingkir. Jenderal Soeharto tampil dan bertakhta pada singgasana kekuasaan tertinggi Indonesia selama 30 tahun (1968-1998).
Modal utama kekuasaan Soeharto adalah dukungan tentara dan kemarahan rakyat kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai seorang dengan insting kekuasaan yang ternyata tajam, Soeharto sadar tidak memiliki cukup karisma dan pengalaman politik seperti yang dipunyai pendahulunya. Dengan latar belakang yang demikian, Soeharto yakin kekuasaannya hanya akan tegak dan bertahan jika potensi pesaing di kalangan militer disingkirkannya dengan segera.
Setelah “membereskan” Sukarno, Soeharto menempuh tiga cara untuk membangun dan mempertahankan kekuasaannya. Pertama, menyingkirkan semua Perwira berorientasi kiri dan Sukarnois. Kedua, mempromosikan para jenderal yang dianggapnya tidak punya potensi menggunakan tentara melawan sang Presiden. Ketiga, para pendukung yang berjasa bagi kemenangan politik Soeharto, tetapi menonjol dalam masyarakat, atau dianggap mempunyai agenda sendiri, dengan segera disingkirkan dari posisi-posisi berpengaruh.
Dengan secara konsisten dan berkelanjutan, Soeharto menyingkirkan perwira tinggi yang dianggapnya punya potensi mengancam. Akibatnya, militer Indonesia secara berangsur “terbonsai”, berkembang menjadi hanya alat bagi kekuasaan Soeharto, terutama setelah pergantian generasi dalam aparat pertahanan dan keamanan. Berbagai cara dikembangkan sang Presiden demi menjaga dan melanggengkan kekuasaannya. Pada dasarnya, cara-cara itu bukanlah cara baru ciptaannya. Soeharto pada hakikatnya—seperti hampir semua penguasa otoriter—adalah seorang Machiavellian yang mempraktikkan taktik stick and carrot (tongkat dan wortel). Mereka yang menguntungkan kekuasaan, mendapat anugerah, sementara yang berpotensi membahayakan, dengan cara saksama dan secepatnya, disingkirkan.
Buku ini mencatat kasus-kasus yang menunjukkan bagaimana cara Soeharto menguasai tentara. Jenderal Ahmad Kemal Idris, Jenderal H.R. Dharsono, Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, Jenderal Sumitro, Jenderal Ali Murtopo, Jenderal Benny Moerdani, dan banyak lagi lainnya, adalah tokoh-tokoh yang pada suatu titik dalam perjalanan karier militer mereka dipersepsikan Soeharto sebagai potensi yang mengancam kekuasaan sang Presiden. Dan karena itu sesegera mungkin disingkirkan dari pendopo kekuasaan.
Para jenderal secara perlahan-lahan akhirnya memang sadar terhadap taktik dan strategi Soeharto membangun, memperkokoh, dan melanggengkan kekuasaannya. Namun, Soeharto sudah menguasai posisi sebagai Presiden dan pemimpin tertinggi yang secara perlahan tetapi ketat mengontrol tentara. Para jenderal terlambat menyadari agenda Soeharto yang berbeda dari rencana para petinggi militer tersebut. Ketika para jenderal mulai menyadari kenyataan sebenarnya setelah bertahun-tahun berada dalam kesadaran palsu (false consciousness), Soeharto sudah telanjur makin kuat dan kecanggihan politiknya sudah bukan tandingan bagi para jenderalnya.
Kumpulan tulisan dalam buku ini membahas secara saksama—sebisa mungkin—interaksi dan ketegangan selama hampir 30 tahun antara Soeharto dan para jenderalnya. Penting diperhatikan, semua ketegangan itu berakhir dengan kemenangan Soeharto.
Salim Haji Said mewawancarai Pangab Benny Moerdani, November 1984.
Akibat “pembersihan” permanen para pimpinan tentara, makin lama lingkaran kekuasaan yang berada di sekitar Bapak Presiden makin menyempit. Ini hal yang menguntungkan dan membuka peluang bagi seorang penguasa otoriter membangun suatu dinasti yang kemudian terlihat memang direncanakan Soeharto.
Interaksi, apalagi ketegangan, antara Soeharto dan para politisi sipil hampir tidak mendapat tempat dalam buku ini. Interaksi demikian memang nyaris tidak pernah ada. Berbeda dengan pengalaman Presiden Sukarno sebelumnya, kekuatan politik sipil memang tidak pernah secara signifikan merupakan ancaman bagi Soeharto. Selama sang Jenderal berkuasa, pemerintah memang “memelihara” kelompok politik sipil yang dipacu berkompetisi memperebutkan kursi di DPR. Kompetisi terbatas dan terkontrol itu dirancang secara canggih dengan tujuan “melegalkan” peran politik tentara dan kekuasaan Soeharto di mata publik Indonesia dan dunia internasional.
Golkar, PDI, dan PPP adalah perwakilan politik peserta pemilihan umum resmi menurut aturan pemerintah. Golkar adalah kelompok yang dibangun militer sebagai kendaraan politik mereka. Tugas Golkar menduduki sebanyak mungkin kursi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberi legitimasi pada kekuasaan Soeharto. PDI dan PPP merupakan kelompok politik hasil fusi sejumlah partai sebagai buah rekayasa aparat kekuasaan. Keduanya adalah produk bonsai kekuasaan yang lebih difungsikan sebagai “pelengkap penderita” di atas pentas politik yang dikuasai Soeharto.
Orang-orang yang dipandang berpotensi kritis pada kekuasaan tidak pernah mungkin menemukan tangga memanjat ke panggung politik. Semua yang mendapat izin memperebutkan kursi di DPR dan MPR serta kedudukan strategis dalam birokrasi adalah mereka yang “steril” setelah secara saksama ditapis aparat sekuriti Peneliti Khusus (Litsus) penguasa. Usaha meneguhkan dan memantapkan kekuasaannya itu akhirnya mendorong, membawa, dan memperkuat rencana Soeharto mewariskan kekuasaannya kepada putrinya, Siti Hardianti Rukmana (Mbak Tutut). Tanpa saya sadari, apalagi direncanakan, saya terlibat dalam kegiatan terakhir ini sebagaimana yang bisa dibaca dalam salah satu bagian dalam buku ini.
SYAHDAN, AKHIRNYA SOEHARTO JATUH JUGA. Namun, berlainan dengan jatuhnya para tokoh otoriter yang didukung tentara seperti yang terjadi di banyak belahan bumi lain, Soeharto tidak jatuh karena perlawanan militer. Akibat krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997, secara perlahan Soeharto tidak lagi punya cukup dana “membeli” dan membiayai para pendukungnya dan masyarakat luas pada umumnya. Dengan kata lain, strategi stick and carrot tidak bisa lagi dijalankan. Tentara (ABRI) tidak bisa bertindak menyelamatkan Soeharto, karena mereka sudah lama tidak bersatu—sebagai akibat rekayasa pecah-belah Soeharto. Dalam tubuh tentara juga tidak cukup tersedia pimpinan yang mencapai puncak organisasi lewat seleksi berdasar merit dan kepemimpinan sewajarnya.
Pada hari-hari terakhir masa kekuasaan Soeharto, tentara bukan saja tidak bisa membela dan mempertahankan sang Presiden dari tuntutan mundur. Tentara sendiri tidak lagi punya semangat, keberanian, dan dukungan masyarakat—seperti pada 1966—mengambil alih kekuasaan dari tangan Soeharto.
Tidak berapa lama setelah kejatuhan Bapak Presiden, tentara (ABRI) pada April 2000 bahkan secara resmi meninggalkan posisinya sebagai kekuatan politik legal yang dulu populer sebagai Dwifungsi.
II