Letnan Jenderal TNI (Purn.) Ahmad Kemal Idris wafat Rabu pagi 28 Juli 2010 dalam usia 84 tahun. Dengan kematian itu habislah tiga King Maker yang pernah bekerja keras menaikkan Soeharto ke takhta kepresidenan. Dua lainnya, Hartono Rekso (H.R.) Dharsono dan Sarwo Edhie Wibowo sudah lebih dahulu berangkat ke alam baka. Pada awal pasca-Orde Lama, mereka bertiga secara bersama telah bekerja keras menyingkirkan Sukarno agar terbuka jalan kekuasaan bagi Soeharto.
Kebanyakan orang memang hanya melihat kepergian Ahmad Kemal Idris sebagai pertanda nyaris habisnya generasi Angkatan 45 TNI dalam masyarakat. Kemal, begitu almarhum populer dikenal, memang salah seorang tokoh penting dari angkatannya. Tapi, yang mungkin tidak menjadi perhatian orang banyak adalah peran penting Kemal pada dua peristiwa besar dalam sejarah dan peran politik militer Indonesia. Terbentang jarak yang jauh antara saat Kemal menghadapkan meriam ke Istana Merdeka dan masa beliau memimpin Kostrad sebagai King Maker senior yang berhasil menyingkirkan Sukarno dan menaikkan Soeharto sebagai pengganti presiden pertama tersebut.
Memulai kegiatan militernya sebagai pemuda angkatan pertama yang dilatih oleh Jepang, keterampilan militer itulah yang mendorong Kemal memilih lapangan ketentaraan dalam mengabdikan diri mempertahankan Indonesia yang baru merdeka. Dia bertempur—bertarung istilah yang disukainya—dari Tangerang hingga Madiun untuk akhirnya kembali lagi bergerilya di Jawa Barat menjelang akhir masa Revolusi.
Namun, Kemal untuk waktu yang lama lebih dikenal sebagai seorang komandan tentara di Jakarta dengan pangkat mayor yang—atas perintah KSAD Kolonel A.H. Nasution—memasang dan mengarahkan laras meriamnya ke Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952. Angkatan Darat hari itu mencoba, tetapi gagal, mendesak Presiden Sukarno membubarkan Parlemen. Sebagai salah satu akibatnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Nasution kehilangan posisi. Untuk sekian tahun—sebelum pada 1955 diangkat kembali menjadi KSAD—Nasution menjadi Kolonel tanpa jabatan.
Kemal memang tidak kehilangan jabatan sebagai akibat aksi pasang meriam itu, tapi sejak itu dia “dicatat” Sukarno sebagai musuh. Akibatnya, karier militer Kemal terhambat lama. Pada Juni 1956, Kemal terlibat lagi dalam suatu gerakan militer. Kali ini yang jadi target adalah justru Nasution. Sejumlah perwira—sebagian besar berasal dari Siliwangi—waktu itu bertekad menurunkan Nasution dari kursi KSAD. Tapi, usaha yang melibatkan Kolonel Zulkifli Lubis itu juga berakhir dengan gagal. Nasib Kemal pun makin memburuk, sebab selain Sukarno, kini Nasution juga memusuhinya.
Setelah bertahun-tahun tidak punya posisi dan kegiatan sebagai tentara, adalah Letjen Ahmad Yani, pimpinan Angkatan Darat, pengganti Nasution, yang memasukkan kembali Kemal dalam jajaran militer. Bersama Kemal, Suwarto—dimusuhi Nasution karena juga ikut gerakan usaha penyingkiran KASAD bersama Zulkifli Lubis dan Kemal—juga mendapatkan peranan militer aktif kembali. Suwarto kemudian menjadi pimpinan Seskoad yang menyiapkan konsep-konsep Angkatan Darat untuk memainkan peran politik, sementara Kemal—setelah bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Kongo—menemukan dirinya menjadi perwira yang ditempatkan dalam jajaran Kostrad pimpinan Mayjen TNI Soeharto.
Nama Kemal muncul di publik ketika Panglima Kostrad Soeharto, dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia, menugaskannya sebagai Panglima Komando Tempur (Kopur) Kostrad yang bermarkas di sekitar Medan. Tugas Brigjen TNI Kemal Idris sebenarnya adalah menyiapkan penyerbuan ke Malaysia Barat. Tapi dalam kenyataannya, dia lebih banyak melaksanakan perintah Soeharto mencari jalan damai dengan negara jiran tersebut. Untuk tujuan itulah, Kemal melakukan Operasi Khusus (Opsus) yang lembaganya kemudian, pada masa Orde Baru, digunakan Ali Murtopo melancarkan operasi politik menyingkirkan musuh-musuh politik Soeharto dan musuh-musuh politik Murtopo sendiri.
Nama Kemal lebih muncul ke permukaan setelah almarhum ditarik ke Jakarta mengambil alih pimpinan Kostrad. Kemal yang pemberani, anti-Komunis, dan musuh lama Sukarno, adalah orang yang tepat membantu Soeharto dalam operasi pemberantasan kekuatan Komunis dan penyingkiran Sukarno. Pada saat itu, Kemal berhadapan kembali dengan dua musuh lamanya, PKI yang diperanginya di Madiun dulu (1948) dan Sukarno yang selama bertahun-tahun ikut mempersulit karier militernya.