“Pipimu bengkak!” suara anak laki-laki terdengar penuh kekhawatiran.
“Ah... Benarkah?” Aku cepat-cepat menutupi luka lebam di pipiku dengan telapak tangan, berusaha seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Dalam hati, aku terkejut. Aku tak menyangka bahwa luka yang kudapatkan semalam benar-benar begitu parah. Bukan hanya pukulan dan tamparan yang kuterima, tapi tendangan keras dari kakinya telah membuat rahang kananku sedikit bergeser, meninggalkan warna ungu kebiruan yang kini menghiasi wajahku. Setiap kali aku menyentuhnya, rasa sakitnya kembali menjalar, membuatku teringat pada malam yang penuh kekerasan itu.
Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan semuanya.
Fuh... Beruntung ayah datang menolongku.
Kalau saja pria berkemeja kotak itu tak cepat menghentikan pertikaian kami, mungkin saat ini dia akan melihat tubuh putrinya terbaring kaku di dalam peti. Sebuah pikiran yang membuat jantung berdebar dengan sangat cepat. Malam itu bisa saja menjadi yang terakhir bagiku.
“Ahh... Bukan apa-apa, ini hanya gigitan serangga!” ucapku dengan senyum palsu sambil menyilangkan jari di belakang punggung, berharap kebohongan itu cukup untuk mengecoh remaja laki-laki di depanku.
Dengan bodohnya, aku menyalahkan makhluk yang tak berdosa, serangga, hanya demi menutupi luka yang jauh lebih dalam dari sekadar memar di kulitku. Aku bisa merasakan tatapan curiga di wajahnya, tapi aku terus berusaha terlihat santai, seolah tak ada yang salah—meskipun di dalam, semuanya terasa berantakan.
“Kak!”
"Kakak?"
"Arien..." panggilnya dengan suara yang cukup keras, memecah lamunanku.
Aku menoleh dan memasang senyuman hangat, meskipun hatiku enggan. “Ahhh... Sudahlah, jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja.”
Dia menatapku ragu, sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang jelas. “Kau yakin?”
Aku hanya mengangguk, meski di dalam hati, perhatian berlebihan ini sedikit mengganggu. Jujur, sikap perhatiannya itu membuatku sedikit kesal.