Suatu hari di Bulan September.
Sebelum kematian Jimmi Dezui.
Tap ... Tap ... Tap.
Langkah kaki terdengar menggema di sepanjang koridor. Seorang mahasiswa bertubuh kurus dengan kulit pucat berlari tergesa-gesa menuju lantai bawah, napasnya tersengal-sengal, dan dada terasa semakin sesak. Setiap langkahnya semakin cepat, seolah ada sesuatu yang tak terlihat namun sangat mendesak di belakangnya, membuatnya tak punya pilihan selain berlari tanpa henti.
Keringat mengalir di pelipisnya, matanya tampak panik. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada yang mengejarnya, namun ketakutan tetap terpancar di wajahnya. Sesuatu yang besar sedang ia hindari, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.
Napas Jimmi tersengal-sengal, seolah paru-parunya tak lagi sanggup menampung udara yang dibutuhkannya. Kerumunan orang di sekitarnya tampak seperti bayangan kabur, namun dia tak berhenti. Dengan tangan gemetar, dia menerobos setiap celah di antara mereka, matanya liar mencari jalan keluar.
Suara itu kembali datang, semakin jelas dan mendesak.
“Jimmi ... Jimmi! Aku menemukanmu!”
“Jimmi ... Jangan pergi! Jimmi.”
Suara-suara itu bergema di telinganya, saling bersahutan, memenuhi setiap sudut pikirannya. Seperti jeratan tak kasat mata, suara itu menahan langkahnya, seolah mencoba menariknya kembali ke arah yang ia tinggalkan.
“Pergi!” teriaknya, tak lagi peduli pada tatapan bingung dan kasihan orang-orang di sekelilingnya.
“Pergi! Jangan ganggu aku!”
“Pergi! Tinggalkan aku sendiri. Pergi!”
Suara Jimmi semakin lirih, namun penuh histeria. Pria-pria di sekitar mulai menggumamkan rasa kasihan, beberapa memandangnya dengan tatapan prihatin. Tapi bagi Jimmi, mereka hannyalah sosok-sosok kabur yang tak berarti apa-apa. Di tengah ketakutannya, hanya ada satu hal yang ia tahu—ia harus lari, sejauh mungkin dari suara itu, dari sesuatu yang terus menghantuinya.
“Oh, MAMA... Beri kesembuhan untuk anakmu ini dan singkirkan semua masalah yang tengah mengganggunya.”
Doa lirih itu terdengar di ruangan sepi, dipanjatkan oleh seorang dosen wanita dengan penuh harap. Wajahnya menyiratkan kelelahan dan kepedihan yang mendalam, seolah merasakan beban yang menekan hati dan pikirannya. Di dalam hatinya, ia berharap pada MAMA, sosok yang dipercayai sebagai pelipur lara dan penjaga bagi mereka yang kehilangan arah.
[Telah dikonfirmasi bahwa Jimmi Dezui telah mengidap Depresi Mayor selama tiga bulan terakhir.]
Kabar ini tersebar di kalangan kampus, membawa perasaan sedih dan cemas di antara mereka yang mengenalnya. Jimmi yang dulunya penuh semangat, kini hanya bayangan dari dirinya yang dulu. Depresi yang ia derita telah menggerogoti jiwanya, menciptakan lubang gelap yang tak mudah ia hindari. Bagi banyak orang, termasuk dosen wanita itu, Jimmi adalah seseorang yang layak diperjuangkan, seseorang yang, dengan bantuan MAMA, diharapkan dapat menemukan jalan kembali ke cahaya.Lusi tersenyum licik, semakin mendekat hingga jarak di antara mereka hampir tiada. Jemari halusnya terulur, dan telunjuknya perlahan mengusap bibir bawah Jimmi, meninggalkan jejak rasa dingin yang menusuk.
“Emm... Dari sorot matamu terlihat jelas, Kak Jimmi,” bisiknya lembut namun penuh ketajaman. “Kau sedang mengalami banyak masalah, bahkan sudah membuatmu sangat tertekan.”
Jimmi hanya bisa menatapnya, lidahnya terdiam di balik bibir yang kini terasa kaku. Setiap kata yang keluar dari mulut Lusi terasa seperti racun manis yang meresap pelan-pelan, menyelubungi pikirannya dengan rasa gentar yang sulit ia jelaskan.