Jimmi Dezui berteriak keras, suaranya menggema di gudang kosong. “Akkkhh... Kenapa? Kenapa?!”
Telapak tangannya yang seharusnya mampu mencengkeram dan mematahkan, kini tak berdaya. Bahkan untuk mencekik leher Lusi saja terasa mustahil. Ia menatap kedua tangannya dengan tatapan putus asa, tubuhnya gemetar tak berdaya. Air mata mulai menetes dari sudut matanya, membasahi pipinya. Tak kuasa menahan luapan emosinya, Jimmi mendongak, menatap ke atas dengan tatapan penuh amarah.
“Kenapa aku tidak bisa melakukannya? Sial kau, MAMA! Kenapa kau menghukumku seperti ini?!” Ia mengacungkan jari telunjuk ke atas, seolah menantang langit, dan kemarahan bercampur kekecewaan tergambar jelas di wajahnya.
Tubuhnya yang kuat dan tinggi tiba-tiba melemah, seakan seluruh tenaganya terkuras habis. Kakinya tak lagi mampu menopang keseimbangannya, dan dalam sekejap, ia jatuh tertelungkup, wajahnya menghantam ubin lantai yang retak dan berdebu. Debu-debu beterbangan saat tubuhnya menyentuh lantai, menciptakan bayangan rapuh dari sosok yang dulu gagah dan ditakuti.
Jimmi hanya bisa terbaring di sana, dengan tubuh lemah yang tak lagi merespons kehendaknya. Pandangannya kabur, dan suara gemerisik pelan dari lantai berdebu terasa menambah keheningan yang menyelimutinya.
Melihat Jimmi yang tergeletak tak berdaya, Lusi mendekat dengan tatapan penuh simpati, lalu berlutut di sampingnya. Dengan lembut, ia merengkuh pria itu dalam pelukan hangatnya, berusaha memberikan sedikit ketenangan pada hatinya yang gelisah.
Jimmi bergumam lirih, suaranya hampir tertelan oleh debu dan keheningan. “Dia menghancurkan hidupku,” ucapnya, tatapannya kosong saat memandang wajah Lusi. “Kalau saja aku tidak membantunya saat itu… mungkin hidupku tidak akan seburuk ini.”