MENYELAMATKANMU

Saya seani
Chapter #9

Chapter 7

Pukul 22.30

Gedung U.S

Gelap menyelimuti setiap sudut Universitas Sonut (U.S), membawa keheningan yang berat dan penuh misteri. Hiruk-pikuk suara mahasiswa yang biasanya memenuhi gedung ini telah lama menghilang, digantikan oleh kesunyian yang memekakan telinga. Angin malam bergerak liar, berputar di antara lorong-lorong kosong, mengirimkan desiran dingin yang menembus hingga ke tulang.

Di tengah kesunyian itu, seorang pemuda berhoodie hitam muncul, berjalan dengan langkah mantap. Wajahnya tak terlihat jelas di bawah bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia bergerak seperti bayangan, tanpa ragu, menuju lantai atas. Tekadnya terpancar dari setiap langkah kaki yang menggema di lorong sepi.

Di belakangnya, sesuatu yang samar tampak mengikutinya—bayangan hitam yang bergerak tak beraturan, seolah mencoba menghentikannya. Namun, pemuda itu tidak bergeming.

Ekspresi di wajahnya begitu kelam, penuh kemurungan yang sulit dijabarkan. Langkah kakinya terdengar berat, seolah menanggung beban yang tak tertahankan.

Sang kelelawar, yang mengamati dari langit-langit, tampak terheran-heran. ‘Apa yang dia lakukan di malam segelap ini?’ pikirnya.

Hembusan angin malam yang dingin membawa bisikan-bisikan gelap, suara yang hanya bisa didengar oleh pemuda itu.

‘Kau ingin Anya pergi darimu bukan?!’

Bisikan itu terdengar tegas, namun penuh racun, memengaruhi pikirannya yang sedang rapuh.

‘Maka matilah dengan tenang!’

Kata-kata itu menyelinap seperti pisau tajam yang menusuk hingga ke relung hati. Pemuda itu menggeleng pelan, berusaha melawan, tetapi kelemahan dalam dirinya membuatnya goyah.

‘Itu cara satu-satunya untuk seorang pria yang sangat menghargai perasaan orang lain, namun tak memedulikan nasibnya sendiri.’

Suara itu menertawakannya, menciptakan gema yang memekakkan di benaknya. Ia berhenti, menundukkan kepala dengan kedua tangan mengepal. Dalam keheningan itu, malam terasa semakin menyesakkan.

Suara tawa itu pecah, menggema di lorong gelap dan kosong, terdengar seperti bisikan setan yang penuh kepedihan. Jimmi memegang erat kepalanya, berusaha menahan tumpukan suara yang memenuhi pikirannya.

‘Aku Lusi Rani, berjanji! Akan membalaskan semua perbuatan kejamnya dan akan menghukum Anya dengan berbagai macam penderitaan; rasa malu, dikhianati, dan kesakitan yang luar biasa.’

Kata-kata Lusi kembali menghantui pikirannya, seperti mantra yang tidak bisa ia abaikan. Ia menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Air mata terus jatuh membasahi pipinya, bercampur dengan rasa frustrasi dan amarah yang tak lagi bisa ia kendalikan.

Lihat selengkapnya