Seorang siswi SMA berseragam rapi dengan topi di kepalanya tengah berdiam diri di luar Gedung U. S.
Hanya bermodalkan ponsel lama dan dua lembar uang kertas gadis itu telah sampai menuju lokasi kekasihnya berada.
Tubuhnya yang kecil terlihat kontras dengan megahnya bangunan tersebut. Seragam putih birunya yang masih rapi serta topi sederhana di kepalanya membuatnya tampak seperti gadis SMA biasa. Namun, sorot matanya yang berbinar menunjukkan antusiasme yang luar biasa.
“Wow... Gedung ini benar-benar besar!” serunya, meski suaranya tak cukup keras untuk menarik perhatian semua orang. Ia masih bergumam pada dirinya sendiri, mengagumi setiap detail dari bangunan super luas yang menjulang di hadapannya.
Beberapa mahasiswi yang kebetulan melintas menoleh heran. Mereka saling berbisik sambil memandang Arien yang tampak begitu terpesona dengan tempat itu. Salah satu dari mereka bahkan berhenti sejenak untuk memastikan apakah gadis itu tersesat.
“Astaga! Apakah ini tempat yang sering kali ia bicarakan kepadaku?” ucap Arien dengan penuh decak kagum. Matanya menyapu setiap sudut gedung, membayangkan berbagai kisah yang pernah ia dengar tentang tempat ini.
Kemudian, ia mengangkat bahu dengan ringan, mencoba menenangkan rasa gugup yang tiba-tiba menyelinap. “Tempat ini sangat keren,” gumamnya lagi, kali ini dengan tangan di pinggang, mencoba terlihat percaya diri meski hatinya berdebar-debar.
Di tengah kekaguman dan rasa penasaran, Arien menguatkan tekad. Ia tahu perjalanan ini tidak mudah, tapi ia harus menemui kekasihnya di dalam sana, apa pun yang terjadi.
Pak Deni, pria tua dengan seragam penjaga keamanan berwarna putih yang sudah mulai lusuh, berjalan mendekati Arien yang tampak mencurigakan berdiri di depan gedung megah itu. Kumis tebalnya bergerak-gerak seiring dengan setiap kalimat yang ia ucapkan.
“Sedang apa kau di sini, Nak?” tanyanya, suaranya serak namun penuh perhatian.
Arien yang kaget dengan sapaan itu langsung membetulkan posisi topinya. “Cari Yuta, Pak. Yuta Reemar. Bapak mengenalnya?”
Pak Deni tertegun sejenak. Nama itu bukan nama asing baginya. Sebagai penjaga gedung, ia tahu siapa Yuta Reemar—seorang mahasiswa populer yang sering menjadi perhatian banyak orang. Namun, mendengar nama itu keluar dari mulut gadis SMA yang masih belia membuatnya sedikit prihatin.
“Oh, Yuta ya?” gumamnya, mencoba menyembunyikan rasa terkejut. Pandangannya menelusuri wajah polos Arien yang masih diliputi semangat muda. “Dia mahasiswa di sini, tapi kau ini siapa? Mengapa kau mencarinya?”
Arien mengangkat dagu, mencoba terlihat percaya diri. “Saya... pacarnya!” jawabnya dengan nada setengah ragu, tapi matanya bersinar penuh harapan.
Pak Deni hanya mengangguk pelan, berusaha menutupi kekhawatiran yang mulai menggelayuti pikirannya. Dalam hati, ia merasa iba. Yuta, dengan segala pesonanya, memang sering membuat banyak gadis tergila-gila, tapi Arien terlihat terlalu muda dan lugu untuk terlibat dalam dunia rumit seperti itu.
“Yuta sedang tidak di sini sekarang, Nak,” kata Pak Deni dengan suara lembut, meski ia tahu gadis ini mungkin akan kecewa. “Tapi jika kau mau, aku bisa menyampaikan pesan untuknya.”
Namun, Arien menggeleng cepat. “Tidak perlu, Pak. Saya akan menunggunya di sini!” jawabnya tegas.
Pak Deni menghela napas panjang, mengusap tengkuknya yang mulai terasa pegal. Dengan ekspresi datar, ia memandang Arien yang masih bersikeras dengan keyakinannya.
"Nak, dengarkan aku," katanya perlahan. "Seharusnya kau lupakan saja mahasiswa bernama Yuta itu. Dia bukan orang yang tepat untukmu."
Arien, yang merasa tersinggung, hanya mendecakkan lidahnya dengan keras. "Cih!!" katanya dengan nada dingin. "Tapi, Pak! Yuta itu kekasih saya!"
Pak Deni tertegun sejenak, lalu menggaruk kepalanya dengan frustasi. "Astaga… anak ini," gumamnya pelan.
Namun, tak ingin membuat gadis muda itu semakin keras kepala, ia mengambil pendekatan berbeda. "Baiklah, Nak. Kalau kau tidak percaya, biar aku tunjukkan sesuatu," katanya sambil melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Arien mengikutinya.
Mereka berjalan melewati lorong gedung menuju taman depan, di mana sekumpulan mahasiswi tengah bercengkerama sambil memegang ponsel mereka.
"Itu dia," kata Pak Deni sambil menunjuk salah satu dari mereka, seorang mahasiswi berambut panjang dengan gaun kasual. "Lihat gadis itu? Dia juga mengaku sebagai kekasih Yuta."
Arien mengernyitkan dahinya, memandang mahasiswi itu dengan penuh rasa penasaran.
"Tunggu, bukan cuma dia," lanjut Pak Deni sambil menunjuk gadis lain yang duduk di bawah pohon besar, sibuk membaca buku. "Yang itu juga pernah datang ke sini mengaku-ngaku hal yang sama."
Pak Deni terus menunjukkan beberapa gadis lain, masing-masing dengan cerita dan klaim mereka tentang Yuta.
Arien memandang Pak Deni dengan tatapan tak percaya. "Pak, maksud Bapak, mereka semua…?"
Pak Deni hanya mengangguk pelan. "Yuta itu… ya, dia punya pesona. Banyak yang tergila-gila padanya. Tapi, Nak, kau harus sadar, tidak semua yang terlihat baik di luar benar-benar baik untukmu."
Arien terdiam sejenak, memandang lurus ke depan, lalu mendesah panjang. "Tapi, Pak!"
Pak Deni tersenyum tipis, tapi kali ini senyum itu penuh iba. "Semoga kau benar, Nak." Ia berbalik pergi, meninggalkan Arien yang masih termenung dengan pikirannya sendiri.
Ketika Arien masih bersikeras membela perasaannya kepada Pak Deni, suara langkah sepatu hak tinggi memecah suasana. Sekelompok wanita berjalan mendekat dengan percaya diri, membawa aura arogan yang langsung mendominasi area tersebut. Diandra, pemimpin D.Angels, berhenti beberapa langkah di depan mereka. Dengan tangan bersilang dan senyum dingin, ia berbicara.
“Ada apa ini?” nada suaranya penuh ketidakpedulian, tetapi tatapannya menilai situasi dengan tajam.
Pak Deni, yang mengenali gadis itu, segera menundukkan kepalanya, sikap sopan bercampur ketakutan terpancar dari tubuhnya.
Diandra mengangkat satu alis, wajahnya tetap dingin. “Siapa?”
Diandra tersenyum miring, tatapan matanya berubah menjadi penuh ejekan. Anggota D.Angels di belakangnya saling bertukar pandang, kemudian salah satu dari mereka tertawa kecil.
"Wah... wah... Ada cecunguk yang berani singgah di tempat kita ini," ujar Diandra dengan nada mengejek, sambil menatap Arien dari atas hingga ke bawah dengan ekspresi sinis.
Arien, yang sudah merasa jengkel sejak awal, langsung menyahut tanpa berpikir panjang. "Siapa yang kau sebut cecunguk?"
Mata Diandra menyipit, senyumnya yang tadinya sinis berubah menjadi ekspresi dingin. Sebelum suasana semakin memanas, Pak Deni dengan sigap menarik tangan Arien, mencoba menjauhkannya dari konfrontasi.
"Sudah cukup, Nak. Ayo kita pergi saja," bisik Pak Deni dengan nada cemas.
Diandra melipat tangan di dadanya, memiringkan kepala seolah mengamati pertunjukan yang menarik. "Hei... hei... Kalau mau bicara, lakukan dengan benar. Jangan bisik-bisik seperti pengecut!" katanya, kali ini dengan nada kesal.
Pak Deni melangkah maju sedikit, mencoba menengahi situasi. “Nona Diandra, saya rasa ini hanya kesalahpahaman. Anak ini mungkin—“
“Diam,” potong Diandra tanpa mengalihkan pandangannya dari Arien. “Aku tidak meminta pendapatmu, Pak Deni. Lebih baik kau tetap fokus pada tugasmu dan tidak ikut campur urusan kami.”
Pak Deni terdiam, mengangguk pelan sambil mundur dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
Arien yang awalnya mencoba menahan emosi dan tetap sopan kini mulai kehilangan kesabarannya. Napasnya tersengal, mencoba menekan rasa kesal yang semakin memuncak.
“Aku hanya ingin berbicara dengan Yuta. Aku pacarnya Yuta,” ucapnya dengan nada bergetar, meskipun matanya menyala penuh amarah.