Dengan kecepatan 100 km/jam, sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang di jalanan yang lengang. Jalanan yang biasanya dipenuhi kendaraan kini terasa sepi, memberi kebebasan bagi sang pengemudi untuk terus menekan pedal gas tanpa memikirkan keselamatan pengendara lain.
“Yuta… hentikan! Tolong, hentikan, Yuta!” seru Arien panik, memegang erat lengan kekasihnya yang terus fokus pada kemudi.
Namun, Yuta tetap diam, tak memedulikan teriakan Arien yang jelas-jelas dipenuhi ketakutan.
“Aku tahu aku salah! Aku memang bodoh dan selalu membuatmu malu…” Arien menunduk, suaranya mulai bergetar. “Tapi bukankah kau sendiri yang memintaku untuk datang menemuimu? Yuta!”
Suara Arien yang melengking memenuhi kabin mobil, tetapi Yuta masih tak memberikan respons apa pun. Matanya yang tajam hanya terpaku ke depan, wajahnya menyiratkan amarah yang membara. Gas mobil terus diinjak, suara mesin menderu-deru, menambah kecemasan yang sudah menggantung di udara.
Seketika, Yuta menoleh tajam ke arah Arien yang masih meringkuk ketakutan di kursi penumpang. Wajahnya memerah, ekspresi campuran antara kemarahan dan ketidakyakinan.
“Bualan bodoh macam apa yang kau pikirkan?!” geramnya dengan nada tinggi, suaranya bergetar menahan emosi.
Tanpa berpikir panjang, Yuta langsung menginjak pedal rem dengan kasar.
SFX: “Screeeech!!”
Ban mobil mendadak terkunci, menyebabkan kendaraan itu kehilangan kendali. Mobil berpelat nomor AXXXX7 berputar beberapa kali di tengah jalan dengan suara decitan ban yang memekakkan telinga. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya, roda mobil terus memutar arah hingga akhirnya berhenti dengan posisi melintang, menutupi sebagian bahu jalan.
Keheningan menggantung. Hanya suara napas mereka yang terdengar, berat dan terengah-engah.
Beruntung, tidak ada kendaraan lain yang melintas, dan mereka berdua masih diberi keselamatan dari insiden yang nyaris berujung fatal ini. Namun, suasana di dalam mobil kini semakin tegang.
Arien menoleh perlahan, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat, tetapi ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Di sisi lain, Yuta masih menggenggam erat kemudi, tangan dan rahangnya sama-sama mengeras, mencoba mengendalikan ledakan emosi yang bergemuruh di dadanya.
Yuta menatap Arien dengan dingin, matanya memancarkan kemarahan yang hampir tak tertahankan. “Aku tidak pernah menyuruhmu untuk menemuiku!” katanya tajam.
Suaranya yang tegas membuat Arien terdiam, wajahnya semakin memucat.
“Jangan bercanda, Arien... Ini sama sekali tidak lucu,” tambah Yuta, nadanya semakin menusuk.
Kata-katanya membuatku merasa tersudut. Tubuhku bergetar karena campuran rasa takut dan marah. Yuta benar-benar membuatku kesal... Bagaimana mungkin dia mengatakan ini setelah semua yang terjadi? Pikirku dalam hati.
Mencoba mencari penjelasan, aku merogoh ranselku dan mengeluarkan ponsel yang sejak tadi kusembunyikan. Ketika layar ponsel menyala, serangkaian pesan bermunculan—pesan-pesan yang berasal dari nomor milik Yuta!
Yuta, yang matanya tanpa sengaja menangkap isi pesan itu, memukul setir mobil dengan keras. “Sial!” gerutunya penuh amarah.
Ia menggertakkan giginya, lalu menyandarkan punggungnya ke jok mobil dengan napas memburu. Misteri hilangnya ponsel Yuta akhirnya menemukan titik terang.
‘Seseorang sengaja mencuri ponsel itu untuk menghancurkannya,’ pikir Yuta. Namun, lebih dari itu, pelaku tampaknya ingin mengungkap sesuatu yang Yuta selama ini sembunyikan rapat-rapat.
Tak lama, Yuta menyalakan mobilnya dan melajukannya dengan mantap. Suasana di dalam kendaraan begitu sunyi hingga suara mesin menjadi satu-satunya yang terdengar.
“Kita mau ke mana?” tanya Arien pelan, suaranya masih terdengar lemah.
“Ke rumah sakit,” jawab Yuta tanpa menoleh.
Arien tiba-tiba terlihat gelisah. “Tidak... Jangan! Jangan ke rumah sakit!” pintanya dengan nada yang hampir putus asa.
Yuta meliriknya sekilas. “Kenapa?” tanyanya sambil mengerutkan dahi.
Arien terdiam beberapa saat, mencoba mencari alasan. “Emm... Itu... Aku tidak suka rumah sakit,” jawabnya dengan suara lirih.
Yuta menghela napas panjang, mencoba menahan rasa kesalnya. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan membawamu pulang ke rumah dan menemui ibumu.”
Namun, saat mendengar itu, Arien langsung mengangkat dagunya dan memberikan tatapan sedih ke arah Yuta. Sorot matanya seakan melarang Yuta melakukan hal tersebut.