Setelah insiden yang nyaris merenggut nyawanya, perlahan kehidupan Ghali, remaja berusia 15 tahun, mulai berubah. Kedatangan Arien ke kediamannya membawa warna baru yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kehadiran gadis itu membuatnya merasa lebih hidup dan nyaman, sesuatu yang langka baginya.
Hari itu, di ruang tamu yang hangat, Ghali dengan senyum kecil di wajahnya mendekati Arien yang sedang duduk santai membaca komik bergenre dark romance. Pandangan Arien terpusat pada halaman komik yang kelam, namun penuh daya tarik, hingga ia nyaris tak menyadari kehadiran Ghali.
Tanpa berkata apa-apa, Ghali mengulurkan sepotong kue cokelat ke arahnya. Arien mendongak, menatap Ghali dengan mata membulat penuh kebingungan.
“Untukku?” tanyanya, suaranya terdengar ragu.
Ghali hanya tersenyum kecil, tak memberikan jawaban. Ia tampak malu, tapi senang melihat reaksi Arien.
Arien mengangkat bahu sambil menerima kue itu. “Baiklah,” ucapnya singkat, kembali memfokuskan diri pada komiknya. Namun, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, meski ia berusaha menyembunyikannya.
Ghali duduk di kursi sebelah, mencuri pandang ke arah Arien yang kini menikmati kue pemberiannya. Di dalam hatinya, ia merasa ada kehangatan baru, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kehadiran Arien memberinya harapan kecil untuk memulai sesuatu yang baru dalam hidupnya.
“Baiklah,” ucap Arien santai sambil membuka mulut dan mencicipi sedikit demi sedikit kue buatan Ghali. Matanya sedikit membulat saat rasa manis itu menyentuh lidahnya. “Emm... enak!”
Ghali terkejut mendengar pujian itu. “T-terima kasih...” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
Arien tersenyum sambil melanjutkan kunyahannya. “Kau tak percaya?” tanyanya dengan nada menggoda, memperhatikan ekspresi Ghali yang tampak ragu.
Tanpa peringatan, Arien mengambil potongan kecil kue dan dengan cepat memasukkannya secara paksa ke mulut Ghali. “Coba sendiri! Enak, kan?” katanya sambil mengedipkan mata, membuat Ghali terdiam.
Ghali terpaksa mengunyah kue itu, rasa manisnya kini bercampur dengan rasa gugup yang entah kenapa semakin besar di hatinya. ‘Kenapa Arien mau melakukannya?’ pikirnya bingung.
Dia tak bisa memalingkan pandangan dari gadis periang itu. Sikap Arien yang spontan, kata-katanya yang kadang pedas, dan kehadirannya yang selalu ceria membuat Ghali semakin tertarik. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan wajah cantik Arien terus saja muncul di benaknya.
‘Mungkinkah dia juga yang memberikan napas buatan kepadaku?’ pikir Ghali, sebuah pertanyaan yang sejak insiden itu terus mengusiknya.
Melihat Ghali yang tiba-tiba terdiam seperti patung, Arien langsung menepuk pundaknya dengan keras. “Oi, Ghali! Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya dengan nada heran.
“Hah!?” Ghali tersentak kaget, wajahnya memerah. “Tidak! Tidak ada!” jawabnya cepat dengan ekspresi kaku.
Arien memiringkan kepala, menatap Ghali dengan mata menyipit. ‘Ada yang aneh dengan sikapnya kali ini,’ pikirnya sambil menahan tawa kecil. Tanpa ia sadari, perlahan ia mulai merasa nyaman di sekitar Ghali, dan entah kenapa, sikapnya yang canggung justru membuatnya semakin penasaran.