Pukul 20.00.
Di dalam kamar, Arien terbaring di atas ranjang empuknya. Namun, pikirannya tidak tenang. Bayangan pria asing berambut mangkuk yang tiba-tiba memeluknya siang tadi terus menghantui pikirannya. Pelukan hangat itu membuatnya merasa tenang, tetapi juga menimbulkan gelombang kegelisahan yang tak biasa.
“Siapa dia? Kenapa rasanya aku pernah mengenalnya?” batinnya bergejolak.
Arien mencoba mengingat detail-detail masa lalunya, berharap menemukan petunjuk tentang pria misterius itu. Namun, semakin ia berusaha, semakin kabur ingatan yang muncul di kepalanya.
“Aaah ... Sial! Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?!” teriaknya frustrasi, mengusap-usap rambutnya dengan kasar.
Di sampingnya, Arza, remaja berambut pirang yang telah menemaninya selama ini, memandang Arien dengan cemas. Ia berusaha memegangi lengan gadis itu, khawatir melihatnya begitu gelisah.
“Arien! Arien! Sadarlah!” seru Arza, mengguncang bahunya pelan.
“Hah...!” Arien tersentak, kembali ke realitas. Nafasnya terengah-engah, matanya menatap kosong sebelum akhirnya fokus pada Arza yang kini ada di hadapannya.
“Arza...” gumamnya pelan, menyadari keberadaannya.
“Arien, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanya Arza, menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
Arien terdiam, menatap wajah Arza yang berada begitu dekat dengannya. Wajahnya sedikit memerah, namun ia tetap berusaha menguasai diri.
"A ... Arza!" gumamnya pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Menyadari posisinya yang begitu dekat, Arza dengan cepat melepaskan kedua lengannya yang tadi memegangi Arien. Wajahnya langsung memerah, dan ia memalingkan pandangan dengan gugup.
"Ah, maaf!" katanya terbata-bata, mencoba menjaga jarak.
***
Pukul 07.00
Di dalam kelas yang riuh dengan bisikan dan tawa, seorang siswa pindahan berdiri canggung di depan papan tulis. Seragamnya rapi, namun wajahnya memerah, menandakan rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.
“Hei, murid baru! Perkenalkan dirimu!” seru Mei Lili dengan suara lantang, membuat semua mata tertuju pada Ghali.
Ghali tersentak. Ia berdiri lebih tegak dan mencoba berbicara, meski suaranya bergetar.
“Ghali... Ghali... Reemar... Namaku Ghali Reemar.”
Ia mengulang namanya berkali-kali tanpa sadar, hingga empat kali. Suaranya semakin kecil setiap kali, membuat para siswa menahan tawa.