MENYELAMATKANMU

Saya seani
Chapter #17

Chapter 14

Beberapa hari kemudian, kehadiran siswa baru kembali menjadi bahan perbincangan di kelas 8-IPA. Kali ini, suasana menjadi lebih riuh, terutama di kalangan para gadis yang tampak terpesona. Pria dengan tinggi tak lebih dari 160 cm itu muncul lagi di depan kelas, namun penampilannya kini jauh lebih rapi. Rambut mangkuknya terlihat tersisir sempurna, dan ia mengenakan kacamata bulat dengan lensa tebal yang memancarkan kesan intelektual.

Ia berdiri dengan percaya diri di hadapan siswa-siswa lain, ditemani seorang pria berbadan besar yang setia berdiri di belakangnya, seperti penjaga pribadi.

“Selamat pagi semuanya. Perkenalkan, aku Sean El Karch,” ucapnya dengan lantang namun penuh kehangatan.

Suaranya kali ini terdengar berbeda—lembut, menyenangkan, dan penuh percaya diri. Seolah-olah aura positif yang ia pancarkan mampu membuat siapa pun di sekitarnya merasa nyaman.

Siswa-siswa mulai berbisik di antara mereka, terkesima dengan kehadirannya Bahkan Arien, yang biasanya tak peduli dengan hal semacam ini, sempat meliriknya dengan ekspresi bingung.

“Dia...” Gumam Arien pelan, sambil mengerutkan alisnya.

Sean, yang menyadari perhatian yang tertuju padanya, tersenyum kecil sebelum melanjutkan, “Semoga kita bisa berteman baik di sini. Terima kasih.”

Kelas pun bergemuruh oleh tepuk tangan dan bisik-bisik kekaguman, terutama dari para gadis yang tampak mulai mengidolakan siswa baru tersebut.

Sejak kedatangan dua siswa baru di kelas 8-IPA, pamor Arza mulai terlihat meredup. Sebelumnya, ia dikenal sebagai pusat perhatian dengan ketenangan dan aura cool-nya. Namun, kehadiran Ghali dan Sean mulai menggeser posisinya.

Ghali yang pendiam dengan pesona misterius mampu menarik perhatian tanpa banyak bicara. Ia seperti teka-teki yang membuat semua orang penasaran. Sebaliknya, Sean tampil penuh semangat, dengan senyuman yang selalu terpancar dan sikap yang ramah. Kombinasi ini membuat keduanya menjadi sorotan utama di kelas.

Bukan hanya perhatian siswa lain yang membuat Arza merasa terganggu, tapi juga fakta bahwa keduanya tampak memiliki ketertarikan pada Arien kakaknya.

Arza mengepalkan tangan, pandangannya tertuju pada Sean yang sedang bercanda dengan beberapa teman perempuan, dan Ghali yang diam-diam menatap Arien dari bangkunya.

“Menyebalkan!” gerutu Arza dalam hati sambil berpura-pura fokus membaca buku, padahal pikirannya penuh dengan kekesalan.

‘Gara-gara dia, aku harus sebangku dengan gadis menyebalkan ini. (Melirik kearah Mei)’

Ia tak bisa mengerti kenapa kehadiran dua orang itu membuatnya merasa tak nyaman, seolah-olah mereka mencoba merebut sesuatu yang penting darinya.

Saat bel istirahat berbunyi, para siswa bergegas keluar kelas. Arien berdiri, bersiap mengikuti arus keluar, namun tiba-tiba Ghali menarik lengannya.

“Aku ikut,” ucap Ghali dengan suara pelan, namun tegas.

Arien hanya membalasnya dengan senyuman, tak berkata apa-apa.

Dari arah lain, Sean muncul dengan santai, diikuti dokter pribadinya yang bertubuh besar. Ia mendekati Arien sambil mengibaskan rambutnya yang sudah rapi.

“Aku masih belum tahu tempat ini,” katanya dengan nada berharap.

 “Bolehkah aku dan dokter pribadiku ikut bersama kalian?”

Arien dan Ghali saling menatap, tak tahu harus menjawab apa. Namun, sebelum mereka sempat memutuskan, suara Arza terdengar lantang di belakang mereka.

“Tunggu!” teriak Arza dengan nada kesal. Ia berjalan cepat mendekati mereka.

“Aku sudah janji makan siang dengan kakakku,” lanjutnya sambil menatap tajam ke arah Sean dan Ghali. “Tidak bisakah kalian makan dengan yang lain?”

Kata-katanya terdengar kasar, membuat suasana menjadi tegang.

“Arza, hentikan!” tegur Arien dengan tegas. Ia menatap Arza dengan pandangan tajam yang tak biasa.

Semua terdiam. Bahkan Arza yang biasanya tak gentar menghadapi siapa pun, terlihat sedikit goyah di bawah tatapan kakaknya.

Sean, yang awalnya tampak santai, kini hanya tersenyum tipis sambil melirik Ghali. “Sepertinya makan siang kali ini akan menarik,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.


“Baiklah,” ucap Sean dengan santai, lalu melirik ke arah dokter pribadinya. “Kalau begitu, aku akan makan siang dengan Dokter Al saja.”

Namun, sebelum Sean sempat melangkah pergi, Arien tersenyum dan berkata, “Bagaimana kalau kita makan bersama-sama saja?”

Ia lalu menoleh ke arah Arza. “Iya kan, Arza?”

Arza menghela napas panjang, jelas terlihat enggan. Namun, di bawah tatapan Arien yang tak memberi ruang untuk penolakan, akhirnya ia menggumam pelan, “Iya...”

Lihat selengkapnya