Malam itu, di ruang keluarga.
Yuta menatap adiknya yang duduk di sofa dengan buku terbuka di pangkuannya.
“Bagaimana sekolahmu?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.
Ghali tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap terpaku pada halaman buku, seolah kata-kata kakaknya tidak cukup penting untuk ditanggapi.
Yuta menghela napas. Dia tahu betul, semenjak Ghali bersekolah di SMA JTI 2, ada sesuatu yang berubah dari adiknya.
Dengan nada penasaran, Yuta bertanya lagi, “Apakah mereka baik padamu?”
Masih tidak ada jawaban.
Yuta mendesah, lalu menambahkan dengan nada sedikit menyindir, “Aku harap kau tidak menyusahkan Arien?”
Mendengar nama itu, Ghali akhirnya bereaksi. Tatapannya sekilas melirik ke arah Yuta, namun tanpa sepatah kata pun, ia menutup bukunya. Dengan langkah tenang, ia berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan kakaknya sendirian.
Yuta menatap punggung adiknya yang semakin menjauh. Dulu, mereka adalah saudara yang selalu bersama—tertawa, bercanda, bahkan menangis dalam pelukan satu sama lain. Namun sejak kepergian ibu mereka, segalanya berubah.
Jarak di antara mereka terasa semakin lebar, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Apalagi dengan sosok ayah yang entah di mana, Yuta dan Ghali kini tak lebih dari dua orang asing yang kebetulan tinggal di bawah atap yang sama.
BRAK!
Suara pintu yang dibanting menggema di seluruh rumah, mengguncang keheningan malam.
Yuta berdiri kaku di tempatnya, kedua tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah.
“Bajingan!” umpatnya, suaranya serak menahan emosi yang bergemuruh di dadanya.
Di sisi lain, Ghali Reemar bergegas menuju kamarnya, kepalanya tertunduk, napasnya memburu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpit dadanya. Begitu masuk, tanpa ragu ia membanting pintu dengan keras—seolah mencoba mengunci dunia luar dari hidupnya.
Suara dentuman itu membuat Bibi Asih, yang sedari tadi mengamati dari kejauhan, tersentak ketakutan. Wanita paruh baya itu hanya bisa meremas jemarinya yang dingin, berbisik dengan suara gemetar, “Mama... tolonglah Tuan Yuta ... redakan amarahnya ...”
Namun, doa itu menguap dalam hening.
Yuta masih berdiri di tempatnya, dadanya naik turun, pikirannya berkecamuk. Napasnya berat, seolah ada bara yang membakar dari dalam. Ini bukan pertama kalinya ia dan Ghali bersitegang, tapi entah kenapa malam ini terasa lebih menyakitkan.
Di dalam kamar, Ghali menyandarkan punggungnya ke pintu, merosot perlahan hingga duduk di lantai. Tangannya gemetar, menggenggam kain celananya erat-erat. Matanya menatap kosong ke depan, tapi yang ia lihat hannyalah bayangan masa lalu yang berulang kali menghantuinya.