MENYELAMATKANMU

Saya seani
Chapter #20

Chapter 17

Keesokan harinya—

Aku tertegun. Bangku Ghali kosong, dan kini Sean duduk di sana.

Sebelahku.

Sial.

Aku menggeser tubuhku sedikit, mencoba menciptakan jarak, namun sia-sia. Sean tampak nyaman, bahkan tersenyum hangat ke arahku.

Jantungku berdegup kencang. Aku pura-pura sibuk dengan bukuku, namun tatapannya membuat kulitku meremang.

Kenapa dia duduk di sini?

Sementara itu, di sudut kelas, Ghali kini terpaksa duduk sebangku dengan Anton. Aku melirik sekilas, kasihan. Anton terkenal brutal, dan aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib Ghali hari ini.

Pelajaran dimulai, tapi pikiranku tak bisa fokus.

Bau semerbak lembut menyentuh hidungku. Aroma segar, seperti bayi yang baru saja dimandikan.

Aku mengerjapkan mata. Wangi ini … milik Sean.

Tak hanya itu, kulitnya yang putih, tawa kecilnya yang ringan, dan gigi gingsulnya yang muncul setiap kali ia tersenyum— semuanya membuatnya terlihat begitu manis.

Jika aku tak tahu siapa dia, mungkin aku akan berpikir Sean adalah malaikat.

Tapi aku tahu.

Aku tahu betapa misterius dan liciknya Sean El Karch.

Dan aku tidak akan jatuh ke dalam pesonanya. Tidak akan.

“Hei,” suaranya lirih, hampir seperti bisikan yang berbisik langsung ke telingaku. Suara itu menyelinap masuk, menciptakan sensasi aneh di tulang belakangku.

Aku tetap diam, jari-jariku mencengkeram buku erat-erat. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak menoleh. Tidak peduli betapa dekatnya dia sekarang.

“Kau ada waktu luang nggak?” tanyanya lagi, suaranya sedikit lebih dalam, lebih mendesak. Seolah dia tahu aku mendengarnya, tapi sengaja mengabaikannya.

Aku masih tak bergerak. Namun, suara hentakan keras dari sudut kelas membuatku tersentak.

Mataku bergerak, tanpa sadar melirik ke arah sosok yang berdiri kaku. Pengasuh Sean—atau lebih tepatnya, bodyguard pribadinya—berdiri tegap dengan ekspresi tajam, seolah siap menerkamku kapan saja. Mata gelapnya seperti mengirim pesan peringatan.

Aku menelan ludah. Sial. Kenapa anak ini harus dikawal ke mana-mana? Seolah dia rapuh, terlalu istimewa, atau ada sesuatu yang harus dilindungi darinya?

Dasar anak manja.

Kuhirup napas panjang, menenangkan debar jantungku yang tanpa alasan semakin tak beraturan.

“Sstt ... Arien,” bisiknya lagi. Kali ini lebih dekat, begitu dekat hingga aku bisa mencium wangi samar dari tubuhnya. Aroma yang aneh—lembut seperti bayi yang baru selesai mandi, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam, lebih sulit dijelaskan.

Jari-jariku mengepal di atas meja.

“Aku mau tidur,” jawabku ketus, tetap tak menoleh. Suaraku lebih tajam dari yang kuinginkan, tetapi aku tak peduli.

Sean tidak berkata apa-apa. Tapi aku bisa merasakan senyuman kecil yang mengembang di sudut bibirnya.

Tanpa menunggu lebih lama, aku menarik buku ke atas wajahku. Seolah-olah aku benar-benar ingin membaca. Padahal ...

Aku hanya ingin melindungi diriku dari tatapan Sean El Karch yang entah mengapa terasa semakin mendalam dan menusuk ke dalam pikiranku.

Beberapa menit telah berlalu, mataku semakin berat dan akhirnya aku mulai terlelap. Suara lantang Pak Budi yang biasanya menggema di seluruh kelas kini terdengar semakin pelan, seolah tertelan dalam keheningan mimpiku. Aku merasa begitu nyaman dalam tidur singkat ini, hingga tiba-tiba sebuah sentuhan lembut mengguncang bahuku.

“Hei, Arien ... Bangun!” suara Sean terdengar pelan, hampir seperti bisikan, tapi tetap cukup tajam untuk menarikku kembali ke dunia nyata.

Aku mendesah kesal, mencoba mengabaikannya. Tapi Sean tidak menyerah. Dengan tangan kecilnya yang halus—terlalu lembut untuk ukuran seorang pria—ia terus menggoyang-goyangkan tubuhku. Sentuhan itu membuatku semakin terganggu.

Kesabaranku habis. Aku menoleh dengan tajam, mengunci tatapan mataku pada Sean. Mata bulatku yang penuh amarah seakan siap menerkamnya. Sean terdiam, wajahnya berubah sedikit was-was, tapi ia segera menarik napas dalam-dalam dan mengganti ekspresinya menjadi lebih ramah.

“Pak Budi memanggilmu,” ucapnya pelan, tetap tersenyum seakan tak terganggu oleh amarahku barusan.

Aku tersentak. Dengan cepat aku duduk tegak, menatap ke depan. Semua mata di kelas tertuju padaku, beberapa dengan ekspresi geli, yang lain tampak menahan tawa. Dari kejauhan, aku bisa melihat Arza menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi aku terlalu gugup untuk memahami maksudnya.

“Arien, kerjakan soal nomor 5,” suara tegas Pak Budi menggema, membuat seluruh tubuhku menegang.

Mati aku! Batinku panik.

Aku mencoba mengatur napas, tetapi rasa takut telah menyusup ke dalam pikiranku. Dengan suara yang hampir bergetar, aku mencoba berbicara, “Anu, Pak ... Itu saya ...”

Lihat selengkapnya