MENYELAMATKANMU

Saya seani
Chapter #22

Chapter 19

Sean menarik napas perlahan sebelum menyelipkan tangannya ke saku celana, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dengan gerakan tenang. Dengan santai, ia menyodorkannya ke arah Lusi Rani.

Tanpa sepatah kata, Lusi meraih sebatang rokok. Tatapannya dingin, menusuk, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak sedang dalam mood untuk bermain-main.

Namun Sean hanya membalasnya dengan senyum tenang—senyum yang mengganggu, ambigu, seperti menyembunyikan rencana yang tak diketahui.

Ia membuka tutup korek api logamnya, dan klik—percikan api menyala. Ia mendekatkannya ke ujung rokok Lusi, sementara wanita itu hanya berdiri diam, rokok di bibir, menunggu seolah itu adalah hal paling wajar yang pernah terjadi di antara mereka.

Tatapan mereka bertemu saat api itu menyentuh ujung rokok. Sekejap mata, suasana menjadi lebih berat. Asap pertama mengepul di antara mereka, perlahan mengisi ruang dengan aroma tembakau dan ketegangan.

Senyum Sean tetap terukir, tipis namun penuh makna.

“Apa yang kau inginkan dariku?” sindir Lusi, suaranya tajam seperti bilah pisau yang diseret perlahan.

Sean hanya terkekeh pelan, sebuah tawa kecil yang malah terdengar mengerikan di dalam ruang kosong itu. Asap rokok terus mengepul, menyelubungi mereka dalam kabut tipis yang membuat udara semakin menyesakkan.

Di belakang Sean, Dr. Al menatap Lusi dengan tatapan penuh amarah, kedua tangannya mengepal keras setiap kali wanita itu dengan sengaja meniupkan asap ke wajah Sean.

Tiba-tiba, Sean melangkah lebih dekat, matanya menatap lurus, dingin, dan penuh tekanan.

“Tiga tahun lalu ...” Suara Sean terdengar berat, bergaung pelan di dinding ruangan kosong itu.

“Tepat di bulan September, pukul tujuh pagi ... Ditemukan sesosok tubuh mahasiswa pandai Sonut, tergeletak kaku di belakang gedung tua.”

Lusi menahan napas, jantungnya berdetak tak beraturan. Tangannya yang semula santai kini meremas keras saku celananya.

“Polisi menyatakan ...” Sean melanjutkan, matanya menusuk, ”...kalau dia mengakhiri hidupnya. Melompat dari atas balkon.”

Sean tersenyum kecil, namun senyum itu bukan tanda keramahan—melainkan peringatan.

Asap rokoknya mengambang di antara mereka, seakan membentuk bayangan Jimmi yang jatuh, tubuhnya remuk menghantam tanah.

“Dan kau tahu apa yang lebih menarik, nona Lusi?” sambung Sean dengan nada yang lebih rendah, penuh ancaman.

“Dua minggu lalu ... Seorang mahasiswi juga ditemukan terjatuh di tempat yang sama.”

Lusi tak mampu menyembunyikan kepanikan di wajahnya. Tangannya sedikit bergetar saat ia berusaha tetap menatap Sean dengan tatapan membunuh.

“Tubuhnya remuk. Sama. Persis. Seperti Jimmi,” ucap Sean, kini nadanya seperti desiran maut yang menyusup ke dalam nadi Lusi.

Keheningan membungkus mereka.

Hanya terdengar suara detak jam tua di sudut ruangan, seolah menghitung waktu menuju sesuatu yang lebih mengerikan.

“Apa kau pikir semua kematian itu ... kebetulan?” bisik Sean.

Lusi mencengkeram kursi di sebelahnya, wajahnya memucat.

Di sisi lain, Dr. Al memandang tajam, siap menerkam kapan saja.

Pertemuan ini bukan hanya soal masa lalu ... Ini adalah ancaman. Sebuah penghakiman yang perlahan merayap, dan Lusi tahu—dia takkan bisa lari begitu saja.

Dengan sikap penuh amarah, Lusi menghempaskan sisa rokoknya ke lantai, menginjaknya dengan keras. Matanya berkilat menahan ledakan emosi yang hampir meledak.

“Apa maksudmu membangkitkan cerita busuk itu di depanku?” sindir Lusi dengan suara bergetar, berusaha tetap tegar meski kegelisahan jelas terlihat dalam sorot matanya.

Sean tidak langsung menjawab. Ia justru berjalan pelan mengitari Lusi, seolah memangsa mangsanya perlahan. Asap rokoknya melayang di udara, menebarkan aroma tajam yang menusuk hidung.

“Kau tahu, aku sangat menyukai teka-teki,” ucap Sean lirih di telinga Lusi, membuat wanita itu tersentak mundur.

“Terutama ... teka-teki yang jawabannya sebenarnya sudah jelas, tapi pelakunya masih berkeliaran dengan bebas.”

Dr. Al yang berdiri di belakang Sean, mengepalkan tangannya, seolah menahan diri untuk tidak langsung mendorong Lusi ke dinding.

Suasana menjadi semakin berat. Lampu tua di ruangan itu berayun perlahan, menciptakan bayangan goyah di wajah mereka.

Lusi mengangkat dagunya dengan angkuh, mencoba mempertahankan kendalinya.

“Kalau kau ingin mengungkit masa lalu, kau salah orang, bocah kaya!” bentaknya.

Lihat selengkapnya