Cukup hening.
Hening yang terasa menyesakkan, seakan waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.
Walau sebenarnya, di dalam hati masing-masing, ada begitu banyak kata yang ingin diucapkan.
Ghali perlahan menoleh ke arah Yuta,
tatapannya ragu—mencoba mencari keberanian di sela detak jantungnya yang tak tenang.
Namun, begitu matanya bertemu wajah sang kakak.
Seperti tersengat, ia langsung menunduk.
Ada beban berat di dadanya yang membuat lidahnya kelu.
Sementara itu, Yuta hanya terpaku ke arah jalan.
Matanya lurus, tak bergeming.
Namun rahangnya mengeras—menahan sesuatu yang tak ingin terlihat.
Di balik tatapan kosongnya, pikirannya berlari ke satu arah:
Mencari, menunggu… Dan khawatir pada seseorang yang tak kunjung datang.
Akhirnya dengan segenap keberanian, aku menarik napas panjang.
Hati ini berdegup kencang, seolah ingin pecah saat kata itu meluncur dari bibirku.
“Kak… Arien…”
Belum sempat kalimatku tuntas, mobil mendadak berhenti dengan rem berdecit keras.
Tubuhku ikut tersentak ke depan, sementara Yuta langsung menoleh, sorot matanya tajam menusuk, penuh tanda tanya.
“Apa dia baik-baik saja?” tanyanya, suaranya bergetar, bukan karena marah—tapi karena cemas.
Aku menggigit bibir, lalu menjawab dengan suara yang pelan, hampir berbisik.
“Dia… Sakit. Dia… Dipukul ibunya.”
Wajah Yuta langsung mengeras.
Tangannya yang menggenggam setir bergetar hebat.
“APA?!” suaranya pecah, hampir tak bisa ia kendalikan.
Aku menunduk.
“Ka-kak… Aku juga baru tahu. Arien… Sekarang dirawat. Dia di rumah sakit.”
Yuta terdiam sejenak, tapi guncangan di dadanya jelas terlihat.
Dengan suara parau ia bertanya, nyaris seperti memohon.
“Apa kau tahu rumah sakitnya…? Katakan padaku, Ghali. Sekarang!”
“Katanya… Dia akan segera pulang.”
“BAJINGAN!!” teriak Yuta, tangannya menghantam setir mobil hingga aku ikut terkejut.