Tiga hari telah berlalu sejak kabar menyebar bahwa Arien disiksa oleh ibunya sendiri. Berita itu begitu cepat beredar di sekolah JTI 2, memenuhi setiap lorong dan ruang kelas. Guru-guru membicarakannya dengan penuh iba, sementara para siswa saling berbisik dengan rasa ingin tahu bercampur heran—bagaimana seorang ibu bisa berbuat sekejam itu pada anaknya?
Arza berjalan di lorong dengan langkah berat, wajahnya murung dan mata terus tertunduk. Di sampingnya, Arien justru tampak berbeda. Meski wajahnya masih dipenuhi lebam, meski tangannya masih terbalut perban, ia tersenyum, menatap ke depan dengan semangat yang sama sekali tak luntur.
“Lihat… Itu Arien, kan?” bisik salah satu siswa sambil menahan napas.
Beberapa siswa lain menoleh, tatapan mereka penuh rasa iba, sebagian lagi hanya terdiam. Ada yang memandang rendah, ada yang kasihan, ada pula yang tak percaya melihat Arien masih mampu berdiri tegak di sana.
Arien tersenyum, senyum kecil yang seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja, walau jelas luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh. Ia melambaikan tangan sebentar dengan riang, meski tangan itu masih kaku karena perban.
Sebenarnya, Arien tak sabar ingin segera bertemu dengan Sean dan dokter Al. Sejak hari itu, amarahnya hanya tertuju pada satu orang—Sean. Ia bertekad, begitu bertemu, ia akan menghajar wajahnya hingga penuh luka, agar merasakan apa yang ia rasakan.
Namun, ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kelas, Arien terhenti. Pandangannya menyapu ruangan. Tidak ada dokter Al. Hanya Sean, duduk sendirian di bangku pojok, wajahnya tersembunyi di balik buku biologi tebal yang menutupi hampir seluruh kepalanya.
“Kesempatan bagus… Tanpa pengawalnya,” batin Arien, senyum tipis melintas di bibirnya.
Ia melangkah cepat, jantungnya berdebar keras seiring derap langkah yang menggema di lantai kelas. Dengan kasar, ia menutup buku biologi itu dan mencengkeram kerah Sean, menariknya hingga bangkit berdiri di hadapannya.
Namun justru saat itulah, tawanya pecah.
“Hahaha!” suara tawa itu keras, nyaring, dan sangat bahagia.
Seketika, Arien terdiam menatap sosok di hadapannya. Sean—orang yang ingin ia hajar tanpa ampun—sudah lebih dulu babak belur. Wajahnya penuh lebam, bibir merahnya pecah hingga berdarah, bahkan di lehernya terlihat jelas bekas cekikan yang begitu dalam.
Saat Arien bersiap mengejek Sean lagi, suara langkah tegas terdengar dari pintu.
Sial… Batinnya.
Mr. Ronald muncul dengan tatapan tajam, membuat Arien buru-buru melepaskan Sean dan duduk di sampingnya dengan wajah masam. Ia melirik Sean berulang kali, mencoba memancing reaksi—tapi Sean tetap diam, seolah tak peduli sama sekali.